English English Indonesian Indonesian
oleh

LOHPU Pertanyakan Transparansi Pembahasan 6.000 DIM RUU KUHAP di DPR dan Pemerintah

FAJAR, JAKARTA – Lembaga Opini Hukum Publik (LOHPU) menyuarakan keprihatinannya atas kurangnya transparansi dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) oleh Panitia Kerja (Panja) DPR RI dan pemerintah.

LOHPU mempertanyakan kejelasan proses legislasi, khususnya terkait jumlah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang dibahas. Pasalnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, mewakili pemerintah, pada 8 Juli 2025 telah menyerahkan 6.000 DIM RUU KUHAP kepada DPR. Namun dalam pembahasan yang berlangsung selama dua hari, 9–10 Juli 2025, Panja Komisi III DPR hanya membahas sebanyak 1.676 DIM.

“Ke mana perginya 4.324 DIM lainnya? Apakah dihilangkan atau dibahas dalam sesi tertutup? Ini menjadi tanda tanya besar,” ujar Direktur LOHPU, Aco Hatta Kainang, SH, dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (15/7).

Ia menilai, publik kesulitan mengakses dokumen penting tersebut. “Dokumen DIM versi pemerintah yang berjumlah 6.000 poin tidak tersedia di situs resmi Kementerian Hukum dan HAM, Sekretariat Negara, maupun DPR RI. Ini menunjukkan kurangnya keterbukaan informasi dalam proses legislasi,” tegas Aco.

Sebagai bentuk tanggung jawab publik terhadap proses legislasi, LOHPU menyampaikan delapan poin tuntutan kepada pemerintah dan DPR RI:

Memberikan penjelasan dan akses publik terhadap seluruh poin DIM yang disusun pemerintah.

Menjelaskan secara terbuka posisi 6.000 DIM dalam pembahasan, mengingat hanya 1.676 DIM yang disebutkan telah dibahas oleh Panja RUU KUHAP.

Mengklarifikasi kedudukan putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi KUHAP dalam batang tubuh RUU, apakah bersifat mengikat (putusan) atau sekadar pertimbangan hukum (rasio decidendi).

Menjelaskan integrasi hasil rumusan kamar pidana Mahkamah Agung dalam RUU KUHAP, khususnya yang berkaitan dengan perkara pidana di peradilan umum.

Menyampaikan secara terbuka item-item dalam RUU KUHAP yang mengakomodasi masukan dari akademisi, praktisi hukum, dan organisasi masyarakat sipil.

Memberikan akses penuh terhadap dokumen DIM pemerintah dan draf terbaru RUU KUHAP.

Menciptakan akuntabilitas dalam proses legislasi, dengan membuka ruang partisipasi publik yang sejati, bukan sekadar simbolik.

Menunda pengesahan paripurna hingga seluruh proses pembahasan diselesaikan secara transparan dan komprehensif.

    “Penjelasan ini penting agar publik tidak hanya menjadi cap stempel atas nama representasi. Narasi dan aspirasi publik harus tergambar jelas dan akuntabel: mana yang terakomodasi, mana yang tidak,” tegas Aco Hatta.

    LOHPU menegaskan bahwa catatan kritis ini adalah bagian dari hak publik dalam mengawasi legislasi, dan berharap DPR serta pemerintah tak mengabaikan prinsip transparansi serta akuntabilitas dalam penyusunan undang-undang yang menyangkut hajat hidup rakyat. (*)

    News Feed