FAJAR, MAKASSAR — Di tengah bising rumor transfer pemain lokal yang mengguncang lini masa, PSM Makassar justru melangkah pelan. Tak ada ledakan nama besar, tak ada presentasi mewah. Tapi diam-diam, satu keping potensi besar menghiasi latihan Pasukan Ramang. Dialah Resky Fandi Witriawan.
Gelandang kelahiran Ujung Pandang, 6 September 1999 ini akan mengenakan seragam merah marun. Warna yang dulu ia kenakan sebagai bocah akademi. Warna yang diam-diam terus memanggilnya pulang, meski sempat hanyut lima tahun dalam hiruk-pikuk ibu kota bersama Persija Jakarta.
“Bisa kembali ke sini rasanya seperti mimpi. Saya besar di PSM. Ini rumah saya,” kata Resky dalam wawancara bersama kanal YouTube resmi klub. Matanya berbinar, tak bisa menyembunyikan kelegaan.
Resky bukan nama yang kerap muncul dalam daftar pemain bintang. Di Persija pun ia lebih banyak menjadi pelapis. Tapi ia adalah cermin dari banyak pemain muda Indonesia: bekerja dalam sunyi, menanti momentum, dan kadang hanya perlu satu pelatih yang percaya.
Di PSM, nama itu bernama Bernardo Tavares. Pelatih asal Portugal itu bukan pengejar bintang. Ia lebih tertarik pada pemain yang lapar, rendah hati, dan siap bekerja keras. Seperti yang ia lakukan kepada pemain-pemain seperti Yance Sayuri, Ramadhan Sananta, atau Erwin Gutawa—yang dulunya datang tanpa nama, lalu menjelma jadi tulang punggung tim.
PSM tidak pernah punya dana besar untuk transfer lokal. Tapi Bernardo tahu cara mencari emas di sungai keruh.
Kembalinya Resky juga menambah dimensi lain di lini tengah Pasukan Ramang. Ia bukan gelandang flamboyan. Tapi ia punya satu hal yang mahal: kedewasaan dalam membaca ritme, dan kesabaran dalam membagi bola. Dua hal yang kadang luput dicari dalam sepak bola modern yang serba cepat dan keras.