English English Indonesian Indonesian
oleh

Pemprov Sulsel Atensi PHK Massal dan Tunggakan Upah Buruh

FAJAR, MAKASSAR— Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) terus melakukan pengawasan terhadap PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia. Pengawasan ini menyusul laporan terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tunggakan pembayaran upah buruh.

Kepala Disnakertrans Sulsel, Jayadi Nas, menyampaikan bahwa pihaknya saat ini sedang menangani sejumlah aduan dari para pekerja. Meski begitu, proses penanganan awal tetap dilakukan melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di Kabupaten Bulukumba.

“Kasus ini sementara ditangani oleh UPT kami di Bulukumba. Sampai sekarang, kasusnya belum dilimpahkan ke kami di provinsi. Namun kami tidak bisa lepas tangan karena ini tetap menjadi tanggung jawab kami,” ujarnya kepada FAJAR, Senin (14/7).

Terkait tuntutan buruh, Jayadi mengakui bahwa sebagian hak buruh memang telah dibayarkan, namun masih ada yang dalam proses penyelesaian.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa sejak awal 2023, Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman telah menginstruksikan agar Disnakertrans melakukan pengawasan berkelanjutan terhadap persoalan di PT Huadi.

“Pak Gubernur sudah menginstruksikan sejak Maret lalu agar terus memantau persoalan di PT Huadi. PHK di perusahaan ini memang sudah terjadi sejak 2023 karena alasan efisiensi,” jelas Jayadi.

Menurutnya, efisiensi dilakukan akibat gejolak pasar nikel global yang menyebabkan turunnya produksi. Di PT Huadi, dari delapan tungku produksi, hanya enam yang masih beroperasi. Hal ini berdampak langsung pada pengurangan jumlah tenaga kerja.

“Pasar nikel sedang tidak stabil, banyak smelter di Indonesia yang mengurangi produksi. Di Huadi, dua tungku dihentikan operasinya. Ini mempengaruhi jumlah pekerja yang dibutuhkan,” jelasnya.

Jayadi berharap agar seluruh pihak dapat duduk bersama untuk mencari solusi terbaik. Menurutnya, pengusaha tidak boleh bertindak sewenang-wenang, namun di sisi lain buruh juga harus memahami kondisi yang ada.

“Tidak ada perusahaan yang ingin rugi. Tapi hak buruh juga tidak boleh diabaikan. Keduanya harus saling memahami,” tegasnya.

Ia juga menyebutkan bahwa Disnakertrans saat ini tengah berupaya mencegah terjadinya PHK lanjutan. Salah satu opsi yang diambil adalah merumahkan karyawan dengan tetap memberikan upah, meskipun nilainya terbatas.

“Dirumahkan tapi tetap digaji, walaupun sedikit, bisa menjadi solusi sementara daripada langsung di-PHK. Karena kalau di-PHK, meskipun ada pesangon, tidak semua bisa bertahan lama,” ungkap Jayadi.

Saat ini, langkah konkret yang dilakukan Disnakertrans adalah memfasilitasi mediasi antara pihak perusahaan dan pekerja, sembari menunggu situasi kembali normal.

Selain itu, Disnakertrans telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK yang bertugas mengawasi dan mengadvokasi tindakan PHK agar tidak dilakukan secara sepihak tanpa alasan yang sah.

“Kami sudah membentuk Satgas PHK sejak awal, bahkan sebelum ada instruksi. Ini sebagai antisipasi karena kami melihat potensi masalah ini sudah lama. Terlebih banyak smelter yang mulai menghentikan operasinya,” paparnya.

Jayadi menegaskan pentingnya menurunkan tensi antara buruh dan pengusaha. Keduanya, menurutnya, saling membutuhkan.

“Tidak ada yang menginginkan kondisi ini. Tapi kita harus mencari jalan tengah. Itu yang sedang kami upayakan sekarang,” pungkasnya.

Sementara itu, Solidaritas untuk Buruh KIBA turut melaporkan kondisi buruh PT Huadi ke Kantor Disnakertrans Sulsel di Jalan Perintis Kemerdekaan, Senin (14/7). Mereka mendesak agar pemerintah menjadi jembatan dialog antara buruh dan perusahaan, terutama soal upah lembur yang belum dibayarkan.

Humas Solidaritas Buruh KIBA, Al-Iqbal, menyebut bahwa perusahaan kerap memberlakukan jam kerja melebihi ketentuan, namun tidak memberikan upah lembur yang semestinya.

“Perusahaan mempekerjakan buruh melebihi batas waktu yang ditentukan undang-undang, tetapi tidak membayar lembur. Ini pelanggaran atas hak dasar pekerja,” kata Iqbal.

Ia menambahkan bahwa pengawas ketenagakerjaan Kabupaten Bantaeng telah menemukan adanya pelanggaran, di mana hak-hak buruh belum sepenuhnya dibayarkan. Dari sekitar 60 laporan yang masuk, 22 di antaranya telah mendapatkan penetapan nilai kekurangan upah sejak Mei 2025. Sementara 25 laporan baru masuk pada 7 Juli dan masih dalam tahap pemeriksaan.

“Satu orang bahkan masih memiliki hak yang belum dibayar hingga Rp83 juta. Jumlah ini bervariasi tergantung shift dan masa kerja masing-masing buruh,” ungkapnya.

Iqbal menyayangkan sikap perusahaan yang tidak memberikan tanggapan terhadap hasil temuan tersebut, padahal sudah diberi waktu 14 hari untuk menyampaikan keberatan.

“Sampai sekarang tidak ada sanggahan dari perusahaan maupun serikat. Artinya, mereka seharusnya sudah membayar, tapi belum juga dilakukan,” tegasnya.

Ia juga menyampaikan bahwa sejak Desember 2024 hingga Mei 2025, sebanyak 81 buruh telah di-PHK. Namun sejak 25 Juni, kebijakan perusahaan berubah menjadi merumahkan buruh tanpa kejelasan status, dan hanya diberi upah sebesar Rp1 juta.

“Jumlah yang dirumahkan saat ini mencapai 350 orang, dan akan bertambah sekitar 600 orang. Jadi total ada 950 buruh yang terancam dirumahkan,” kata Iqbal.

Ia juga menekankan bahwa seluruh perusahaan yang beroperasi di kawasan KIBA berada di bawah naungan PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia, sehingga tanggung jawab tetap berada di induk perusahaan.

“Kami menuntut langsung kepada Huadi Grup. Sebab kebijakan merumahkan buruh tanpa kejelasan dan hanya memberi upah Rp1 juta jelas tidak manusiawi, dan teman-teman buruh menolaknya,” tutupnya. (wid/*)

News Feed