English English Indonesian Indonesian
oleh

Ngeri! 60 Keluarga Monopoli Separuh Lahan di Indonesia

Ketimpangan Lama, Regulasi Mandek

Masalah ketimpangan penguasaan tanah telah lama menjadi pekerjaan rumah dalam sejarah agraria Indonesia. Meski Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 telah mengatur batasan kepemilikan tanah, serta Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, praktiknya masih jauh dari prinsip keadilan.

Menurut UUPA dan sejumlah peraturan turunan, seperti Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 6/1998 dan Nomor 18/2016:

– Tanah pertanian untuk perorangan dibatasi maksimal 20 hektare di wilayah tidak padat.

– Tanah rumah tinggal untuk WNI maksimal 5 bidang atau total 5.000 meter persegi.

Namun, tidak ada pembatasan tegas terhadap skala kepemilikan lahan dengan status HGU atau HGB oleh badan hukum maupun korporasi. Pasal 28 UUPA hanya menyebut luas minimal HGU adalah 5 hektare, tanpa batas maksimal, sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi lahan dalam skala besar oleh segelintir elite.

Reforma Agraria Masih Jalan di Tempat

Lambannya pelaksanaan reforma agraria dan redistribusi tanah membuat ketimpangan ini makin menganga. Banyak HGU kedaluwarsa tak segera dialihkan kepada masyarakat atau petani, sementara konsesi-konsesi baru terus dikeluarkan. Di sisi lain, konflik agraria antara warga dan korporasi terus terjadi, dari Sumatera hingga Papua.

Pemerintah, melalui Kementerian ATR/BPN, berencana mempercepat redistribusi tanah eks HGU, serta memverifikasi ulang konsesi yang tidak produktif.

Namun upaya ini akan menghadapi resistensi dari para pemilik modal besar. Tanpa keberpihakan politik yang kuat dan penegakan hukum yang konsisten, program redistribusi tanah rentan menjadi sekadar jargon politik.

News Feed