Pasal 33 UUD 1945 secara jelas menempatkan koperasi sebagai fondasi ekonomi nasional. Perekonomian Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal tersebut, harus disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
Pemantik diskusi lainnya, Muhammad Satriawan Hamsari yang akrab dipanggil Wawan, mengangkat pertanyaan yang menggelitik: mengapa koperasi gagal tumbuh di negeri yang termuat dalam konstitusinya. Ia membandingkan dengan negara-negara kapitalis yang justru sukses membangun koperasi sebagai tulang punggung ekonomi rakyat.
“NTUC FairPrice di Singapura menguasai lebih dari 60 persen pasar ritel dan dimiliki konsumen. Di Amerika Serikat ada Sunkist dan Ace Hardware. Di Spanyol ada Mondragon, koperasi pekerja terbesar di Eropa. Sementara kita? Koperasi justru identik dengan pinjaman konsumtif dan praktik rente,” ujarnya.
Wawan menekankan bahwa koperasi adalah persekutuan orang, bukan persekutuan modal. Koperasi berdiri di atas nilai mutual help, prinsip satu orang satu suara, dan orientasi kesejahteraan, bukan akumulasi laba.
Bung Hatta, lanjutnya, memandang koperasi juga sebagai sarana pendidikan karakter. Koperasi mendidik anggotanya tentang tanggung jawab sosial, kejujuran, budaya menabung, dan pentingnya musyawarah. Hatta bahkan membentuk lembaga pendidikan rakyat untuk menanamkan kesadaran bahwa setiap orang dapat mandiri sesuai realitas hidupnya.
Sejumlah peserta diskusi mempertanyakan lemahnya kesadaran kolektif terhadap koperasi hari ini. “Kenapa koperasi gagal menjawab masalah ekonomi masyarakat? Apakah karena konsepnya terlalu ideal, atau karena pendidikan ekonomi yang lemah?,” ujar salah satu peserta.