Menambah daftar kejanggalan, titik jatuhnya Juliana ternyata bukan titik baru dalam sejarah kecelakaan pendakian di Rinjani. Mariana mengungkap bahwa lokasi tersebut sudah beberapa kali menjadi tempat jatuhnya pendaki, namun belum ada langkah tegas untuk memberi peringatan atau pembatasan akses.
“Beberapa pendaki lain pernah mengalami insiden di titik itu. Tapi tidak pernah sampai separah ini. Kali ini, Juliana meninggal. Apa kita akan menunggu yang berikutnya sebelum mengambil tindakan?” kata Mariana.
Laporan Kedua dan Tuntutan Akuntabilitas
Autopsi kedua mengungkap luka-luka serius di tubuh Juliana: patah tulang panggul, memar di tengkorak, luka terbuka di dahi, dan trauma tumpul di bagian dada. Franklin menyebut, meski jenazah sudah dibalsem, banyak jejak benturan dan luka dalam masih dapat diidentifikasi.
“Satu tulang rusuk menembus pleura paru-paru. Dia mengalami pendarahan internal masif. Luka-luka ini mengindikasikan benturan berulang akibat terguling, dan menunjukkan ia masih hidup beberapa saat setelah jatuh,” jelas Franklin.
Keluarga kini menunggu laporan lengkap dari para ahli dan mempertimbangkan tindakan lanjutan secara hukum dan diplomatik. Mereka juga menyuarakan permintaan agar otoritas pendakian di Indonesia meninjau ulang prosedur keamanan, sistem komunikasi darurat, dan protokol pertolongan pertama.
“Kami tidak mencari sensasi. Kami hanya ingin tidak ada Juliana-Juliana lain yang mati menunggu pertolongan,” tutur Mariana dengan suara tertahan.