English English Indonesian Indonesian
oleh

Pendapatan Sulsel 2025 Baru Terealisasi Rp4 Triliun dari Rp9,8 Triliun

FAJAR, MAKASSAR – Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) Tahun Anggaran 2025 masih tergolong rendah. Hingga semester pertama, capaian pendapatan belum menembus angka 50 persen.

Data dari Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Sulsel mencatat, realisasi pendapatan baru mencapai Rp4,0 triliun atau sekitar 40 persen dari total APBD 2025 yang sebesar Rp9,8 triliun.

Adapun rincian realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah sebesar Rp2,3 triliun atau 47 persen. Pendapatan dari pajak daerah mencapai Rp1,7 triliun atau 42 persen, sedangkan retribusi daerah sebesar Rp169 miliar atau 55 persen. Sementara itu, realisasi dari pos “lain-lain pendapatan asli daerah yang sah” tercatat masih 0 persen.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BKAD Sulsel, Reza Faisal Saleh, menjelaskan bahwa data tersebut merupakan angka akumulatif yang telah dibukukan secara akuntansi. Namun demikian, pendapatan masih terus bertambah seiring berjalannya waktu.

“Itu adalah data yang sudah dibukukan oleh akuntansi. Untuk penyerapan anggaran, biasanya kami lihat berdasarkan hasil rekonsiliasi pada akhir bulan. Jadi, angka yang sekarang masih bersifat sementara dan terus berjalan,” ujar Reza usai Rapat Badan Anggaran bersama Banggar DPRD Sulsel, Kamis, 10 Juli.

Ia menambahkan bahwa realisasi anggaran kemungkinan akan meningkat seiring dengan masuknya pendapatan daerah secara bertahap.

“Setiap hari pendapatan terus masuk. Angka 40 persen itu adalah pendapatan yang sudah dibukukan. Kalau dilihat dari indikator riil, sebenarnya bisa lebih tinggi, hanya saja belum semua dibukukan,” jelasnya.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Hasanuddin, Prof. Anas Anwar, menilai rendahnya serapan anggaran sudah menjadi masalah klasik yang terjadi hampir setiap tahun.

“Masalah rendahnya serapan anggaran bukan hal baru, setiap tahun seperti itu. Ini menunjukkan tidak ada perubahan. Pertanyaannya, kenapa pemerintah daerah tidak bisa menyelesaikan persoalan ini?” kata Prof. Anas.

Ia mengungkapkan dua faktor utama penyebab rendahnya realisasi anggaran. Pertama, karena pendapatan daerah yang belum masuk, sehingga tidak bisa digunakan untuk membiayai program.

“Kalau memang dananya belum masuk, tentu program tidak bisa dijalankan. Anggaran akan tersedia kalau pajak sudah dibayar. Jadi ini soal ketiadaan dana,” jelasnya.

Faktor kedua, lanjut Prof. Anas, adalah kecenderungan pemerintah menunda penyerapan anggaran hingga akhir tahun. Padahal, menurutnya, pola ini sudah seharusnya ditinggalkan karena berisiko menyebabkan penggunaan anggaran yang tidak tepat sasaran.

“Ini yang berbahaya. Kalau alasannya bukan lagi teknis tapi akal-akalan, artinya memang sengaja ditunda untuk dicairkan di akhir tahun. Biasanya kalau sudah akhir tahun, penggunaannya terburu-buru dan asal-asalan. Ini justru jadi persoalan besar,” pungkasnya. (uca/*)

News Feed