Oleh: Aswar Hasan
Dalam negara demokrasi, fungsi dan peran lembaga legislatif—seperti DPR—didesain sebagai representasi langsung dari kehendak rakyat agar negara dikelola sebagaimana mestinya. Namun, dalam praktik politik Indonesia mutakhir, keberadaan legislator di Senayan makin jauh dari akar kerakyatan tersebut. Fungsi representasi yang seharusnya menjadi ruh kerja parlemen justru kian tereduksi oleh pragmatisme politik dan kooptasi kekuasaan eksekutif melalui koalisi kekuasaan.
Problem tersebut mencuat dalam konteks sistem presidensialisme multipartai kita yang unik. Koalisi besar yang menyelimuti parlemen justru menghapus mekanisme checks and balances. Mayoritas fraksi terlibat dalam koalisi pemerintah, membuat DPR kehilangan daya kritis dalam mengawasi eksekutif. Akibatnya, fungsi kontrol melemah, dan parlemen berubah menjadi lembaga “pengabsah kebijakan”, bukan mitra penguasa yang kritis.
Telah diingatkan oleh pakar politik LIPI, Siti Zuhro, bahwa “koalisi gemuk di parlemen adalah paradoks demokrasi. Bukannya memperkuat fungsi representasi (kerakyatan), justru akan membuat parlemen kehilangan daya kritisnya.” Peran DPR kini lebih dominan dalam merawat harmoni kekuasaan ketimbang memperjuangkan aspirasi konstituen.
Persoalan kerap muncul dalam proses legislasi. Produk hukum acap kali disusun tanpa partisipasi publik yang memadai, dibahas dalam waktu singkat, dan disahkan dengan sedikit perdebatan. UU Cipta Kerja adalah contoh paling mencolok. Dibahas dengan cepat, disahkan di tengah malam. Akibatnya, langsung menuai reaksi keras dari masyarakat sipil. Namun, proses legislasi terus berlangsung; “laksana Anjing menggonggong, kapilah penguasa tetap berlalu”.