HUKUM POSITIVISTIK
Kondisi tersebut mencerminkan pendekatan hukum yang positivistik yakni sekadar mematuhi prosedur formal tanpa memperhatikan dimensi moral dan keadilan substansial. Padahal, telah diingatkan oleh pakar sosiologi hukum almarhum Satjipto Rahardjo, bahwa “hukum (undang-undang) bukanlah sekadar teks, tetapi ekspresi nilai keadilan.” Jika hukum hanya dipandang sebagai kesepakatan elite politik, maka ia berisiko menjadi alat kekuasaan, bukan instrumen keadilan.
kritik tajam datang dari para pemikir hukum kritis seperti Gustav Radbruch dan Ronald Dworkin. Radbruch bahkan menyatakan bahwa hukum yang sangat tidak adil, tidak bisa dianggap sebagai hukum. Dalam konteks Indonesia, pendekatan yang terlalu legal-formal menyebabkan substansi hukum tercerabut dari nilai-nilai moral, sebagaimana tampak dalam banyak peraturan yang mengabaikan aspirasi masyarakat sipil.
Dalam teori demokrasi deliberatif, seperti yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas, legislasi idealnya merupakan produk dari diskursus publik yang rasional. Artinya, proses legislasi bukan semata soal kuasa mayoritas, tetapi juga mendengarkan suara-suara minoritas dan membangun konsensus berdasar argumentasi yang rasional. Namun dalam praktik di Senayan, proses pembentukan UU sering kali tidak memenuhi prasyarat deliberatif tersebut
TIDAK REPRESENTATIF.
Lemahnya fungsi representasi DPR tak lepas dari proses rekrutmen politik yang lebih menekankan loyalitas dan popularitas ketimbang kapasitas dan komitmen kerakyatan. banyak legislator tidak memiliki latar belakang pemahaman legislatif yang memadai, sehingga mudah diarahkan oleh garis partai atau kepentingan kekuasaan.
Tren ini menurunkan legitimasi DPR di mata publik. Survei Indikator Politik Indonesia beberapa tahun terakhir menunjukkan DPR berada di posisi bawah dalam hal kepercayaan publik, jauh di bawah TNI, bahkan Polri. Ini menunjukkan krisis representasi yang serius: rakyat merasa tak lagi diwakili secara utuh oleh parlemen. Fenomena ini membuat posisi DPR menjadi subordinat dari kekuasaan eksekutif.