English English Indonesian Indonesian
oleh

Memahami Keberpihakan, Menyegarkan Akal: Belajar dari Perang Iran vs Israel

Oleh: TAJUDDIN NOER*


Di zaman yang riuh ini, keberpihakan sering kali lahir dari emosi, bukan nurani. Bukan dari cahaya akal, melainkan dari kilatan kebencian yang dibumbui data sepotong, potongan potret, dan kemasan algoritma. Layar ponsel adalah panggung tempat jutaan warganet menari tanpa koreografi nalar. Mereka saling mengutuk, mencaci, menjilat ilusi, atau menyebar kabar bohong, seakan dunia ini harus ditelan bulat-bulat dari rasa suka atau tidak suka—tanpa jeda berpikir.

Perang antara Republik Islam Iran dan Israel bukan sekadar babak militer, melainkan medan cermin. Cermin yang memantulkan wajah keberadaban dunia, termasuk wajah bangsa kita. Ketika rudal ditembakkan di langit Damaskus, Teheran, atau Haifa, tak sedikit warga kita melampiaskan amarah di kolom komentar, tanpa amunisi akal sehat. Warganet seolah terhipnotis oleh satu sisi, lupa bahwa tragedi Timur Tengah bukan kartun dua dimensi. Ia adalah sejarah panjang, berdarah, dan sarat kepentingan global yang tak sesederhana narasi tren di Twitter.

Mengapa kita begitu mudah mencaci Iran? Mengapa kita begitu cepat bersimpati kepada entitas yang jelas-jelas dijatuhi puluhan resolusi PBB karena penjajahan, namun kita sebut ‘membela diri’? Mengapa kata “Syiah” menjadi kutukan tanpa membaca satu pun kitab mereka? Mengapa orang membenci tanpa belajar, menolak tanpa menyelami? Apakah akal kita sudah berkarat oleh cara berpikir yang toksik dan benci yang diwariskan secara daring?


Refleksi di Tengah Keriuhan

Dunia digital tak lagi membedakan ilmu dan ilusi. Warganet lebih percaya pada potongan video 15 detik dibandingkan kajian sejarah 150 halaman. Padahal, keberpihakan yang sehat lahir dari pemahaman, bukan dari kemarahan massal.

News Feed