Belajar dari perang Iran vs. Israel, kita sedang diajak bertanya kembali: keberpihakan seperti apa yang patut kita rawat? Apakah keberpihakan pada kebenaran masih punya tempat? Ataukah semua telah larut dalam euforia drama politik global, sehingga yang berani melawan Zionis kita anggap ekstrem, dan yang diam kita puji sebagai moderat?
Kita hidup di zaman yang aneh. Zaman di mana membela Palestina dianggap radikal, tetapi membela penjajah dianggap elegan. Kita hidup di era di mana mendukung Iran yang melawan hegemoni dipandang sebagai kesesatan, tetapi mendukung negara apartheid justru dianggap bijaksana. Apakah kita benar-benar berpikir? Ataukah kita hanya menjadi gema dari suara asing yang tak tahu sejarah luka kita sendiri?
Sindiran Halus untuk Bangsa yang Terlena
Kita ini bangsa besar yang pernah dijajah. Namun, kini kita menjadi penonton pasif dari penjajahan lain, seolah lupa bagaimana rasanya diinjak. Kita menjadi bangsa yang cerewet di kolom komentar, tetapi malas membaca peta konflik. Kita ramai soal Iran, tetapi tak pernah tahu berapa banyak ilmuwan mereka dibunuh Mossad. Kita mengejek Syiah, tetapi tak pernah tahu bahwa para pejuang mereka mati melindungi gereja di Aleppo dan Baghdad. Kita menyinyiri Hizbullah, tetapi tak tahu mereka mengusir Israel dari Lebanon Selatan saat dunia Arab diam membatu.
Di ruang digital yang bising, keberpihakan jadi bahan tertawaan. Siapa pun yang membela kebenaran akan dicap fanatik. Siapa pun yang mengajak berpikir akan dituduh condong. Namun, justru di situlah panggilan jiwa kita sebagai insan merdeka: tetap berpihak dengan nurani, bukan dengan impuls massa.