“Ketika seseorang membeli iPhone terbaru dengan paylater, itu bukan hanya tentang teknologi atau fungsi. Itu adalah bentuk komunikasi sosial seolah ingin mengatakan ‘Saya sukses’, ‘Saya mampu’, atau ‘Saya tidak ketinggalan zaman’. Di sini, konsumsi menjadi sarana ekspresi identitas,” terang Idham.
Dengan demikian, paylater bukan sekadar instrumen keuangan, melainkan cerminan dari budaya konsumsi yang kini melekat erat dengan pembentukan jati diri. Di satu sisi, hal ini memperlihatkan dinamika sosial generasi muda yang aktif, terhubung, dan ingin cepat naik kelas. Namun di sisi lain, jika tidak disertai kesadaran dan literasi finansial yang kuat, kondisi ini bisa mendorong mereka masuk ke dalam siklus utang demi menjaga “ilusi kemapanan”.
“Paylater menawarkan kenyamanan psikologis, tapi dalam jangka panjang, bisa menciptakan tekanan finansial dan kecemasan sosial. Karena ketika simbol-simbol itu tidak lagi bisa dipenuhi, rasa gagal, rendah diri, hingga stres bisa muncul. Itulah yang kita harus waspadai,” tutup Idham. (edo)