Ia juga menyebut, perlu diperhatikan aspek transmisi kebijakan moneter. Ketika masyarakat tetap konsumtif meski suku bunga naik, maka efektivitas kebijakan tersebut jadi lemah. Masyarakat yang sudah kecanduan konsumsi digital sulit disadarkan dengan instrumen bunga. Mereka tetap akan belanja karena terjebak dalam ilusi diskon, cashback, atau promo bunga nol persen.
Melihat situasi tersebut, Sahade mendorong adanya intervensi yang lebih kuat dari regulator. Program Strategi Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2021–2025 dari OJK perlu diperkuat, khususnya dengan menyasar kelompok usia muda dan pekerja informal.
Regulasi bukan hanya soal membatasi, tapi memberi pemahaman. Literasi keuangan harus menyentuh cara berpikir masyarakat tentang membedakan kebutuhan dan keinginan. Kalau ini tidak diluruskan, maka jebakan konsumsi akan terus terjadi.Ia juga menekankan perlunya transparansi suku bunga dan biaya tersembunyi dalam layanan paylater. Termasuk pengawasan terhadap praktik promosi yang terlalu agresif dan memicu perilaku konsumtif.
Harus ada ketentuan yang jelas soal bunga, denda keterlambatan, dan penilaian kelayakan kredit. Jangan sampai masyarakat digiring secara psikologis untuk berutang tanpa memahami dampaknya.
“Gunakan paylater hanya untuk kebutuhan mendesak atau produktif. Jangan tergoda gaya hidup instan yang hanya menambah beban di kemudian hari. Keuangan yang sehat dimulai dari kebiasaan yang disiplin,” bebernya. (edo)