“Paylater ini populer karena praktis dan mudah. Hanya dengan verifikasi identitas, masyarakat bisa langsung membeli barang atau jasa yang diinginkan tanpa harus membayar saat itu juga,” ujarnya kepada FAJAR, Rabu, 9 Juli.
Menurutnya karakteristik generasi muda saat iniyang dinamis, digital native, dan cenderung impulsif dalam konsumsi membuat mereka rentan menggunakan fasilitas paylater. Bukan untuk kebutuhan primer, melainkan gaya hidup.
“Banyak digunakan untuk pembelian barang-barang tersier seperti gadget, liburan, atau fashion. Bagi kelas menengah ke atas, paylater ini hanya soal kemudahan. Tapi bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah, ini jadi penyangga kebutuhan pokok karena tak punya cadangan uang tunai,” jelasnya.
Sahade menyebut, dalam kondisi tekanan ekonomi dan stagnasi pendapatan, terutama bagi pekerja sektor informal, paylater menjadi pilihan logis untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan harian. Sistem cicilan yang ditawarkan, dengan tenor mulai 1 hingga 12 bulan, memberikan ruang bagi konsumen untuk menyesuaikan kemampuan membayar.“
Dengan kondisi ekonomi yang penuh tekanan, penghasilan tetap atau stagnan membuat sebagian masyarakat harus mencari alternatif agar tetap bisa hidup layak. Di situ paylater berfungsi sebagai penyangga ekonomi rumah tangga,” katanya.
Namun, ia menegaskan bahwa penggunaan paylater yang tidak dikelola secara hati-hati bisa menjadi bumerang. Ketidaksiapan dalam mengelola keuangan pribadi membuat banyak pengguna terjebak dalam utang konsumsi yang sulit dilunasi.