Price war yang mengarah pada praktik predatory pricing bertentangan dengan Pasal 20, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Pada pasal 20 disebutkan bahwa: “Pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual beli atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Predatory pricing oleh platform digital bermodal besar akan mematikan pesaing bermodal kecil. Hal ini dapat merusak keseluruhan ekosistem digital nasional yang saat ini memiliki gross merchandise value (GMV) mencapai 90 milyar dollar Amerika Serikat (AS) tahun 2024 dan diproyeksi menjadi 360 milyar dollar AS tahun 2030 (Temasek-Google, 2024).
Praktik predatory pricing yang dilakukan melalui pemberian voucher discount sangat besar berpotensi menghambat pertumbuhan bisnis pengantaran orang, makanan dan barang yang nilainya sudah mencapai 9,0 milyar dollar AS tahun 2024. Industrinya diproyeksi tumbuh rata-rata dua digit hingga lima tahun ke depan sehingga nilainya meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 20 milyar dollar AS tahun 2030.
//Intervensi Pemerintah
Sejalan dengan pandangan ekonom Perancis, Jean Tirole, peraih hadiah nobel ekonomi tahun 2014, jika terdapat perusahaan yang memiliki market power (kemampuan suatu perusahaan mendikte pasar dengan harga jual tinggi) di pasar maka diperlukan pengaturan pemerintah. Instrumennya dapat berupa tarif batas atas (TBA).