English English Indonesian Indonesian
oleh

Menulis Ulang Sejarah Indonesia: Urgensi Kritis di Tengah Kepungan Hasrat Representasi

Oleh: Fajar Sidiq Limola
Dosen Ilmu Sejarah FIB Unhas

Wacana penulisan ulang sejarah Indonesia kembali menyita perhatian publik. Upaya ini dipandang sebagai langkah afirmatif untuk membentuk narasi sejarah yang mencerminkan pandangan dan pengalaman Indonesia sendiri, bukan sekadar hasil tafsir dari sejarawan asing yang kerap terikat pada sudut pandang kolonial. Narasi sejarah nasional yang berbasis pada identitas lokal dan kedaulatan pengetahuan menjadi semakin penting di tengah dinamika global yang terus berubah.

Dalam kajian historiografi modern, sejarah tidak hanya dilihat sebagai pencatatan peristiwa masa lalu, tetapi juga sebagai konstruksi sosial yang membentuk kesadaran kolektif bangsa. Seperti ditegaskan Benedict Anderson dalam gagasan imagined communities, bangsa merupakan hasil konstruksi naratif yang terbentuk melalui bahasa, simbol, dan sejarah bersama. Dengan demikian, penulisan ulang sejarah dapat menjadi sarana penting untuk membentuk identitas nasional secara lebih mandiri dan membebaskan.

Namun demikian, proses ini tidak lepas dari kritik. Penulisan ulang sejarah yang dilakukan secara tergesa-gesa dan tanpa dasar kajian metodologis yang kokoh justru menimbulkan kekhawatiran baru. Terdapat kecenderungan bahwa beberapa istilah, periodisasi, dan narasi penting diganti atau disederhanakan tanpa melalui forum akademik yang inklusif dan lintas disiplin. Hal ini menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat, bahkan memunculkan mispersepsi historis yang bertentangan dengan semangat objektivitas ilmiah.

Contoh konkret adalah penggantian istilah “pra-sejarah” menjadi “sejarah awal”, yang meskipun dimaksudkan untuk menghapus warisan istilah kolonial, justru mengabaikan kompleksitas metodologi arkeologi. Langkah ini memunculkan gejala penyeragaman yang berbahaya, sebab ilmu sejarah dan arkeologi memiliki pendekatan dan logika kerja yang berbeda. Penyatuan istilah tanpa pemaknaan kritis membuka ruang terjadinya penghilangan terhadap keragaman pengetahuan.

Dalam konteks ini, konsep hegemoni dari Antonio Gramsci menjadi penting untuk dibaca ulang. Gramsci menyebut bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja melalui pemaksaan (domination), tetapi juga melalui persuasi dan normalisasi nilai-nilai tertentu dalam masyarakat yang tampak “alamiah”. Penulisan ulang sejarah jika dilakukan oleh kelompok dominan tanpa dialog publik yang jujur dapat menjadi alat hegemoni yang membentuk cara berpikir masyarakat secara halus, tetapi sistematis. Dalam kerangka ini, sejarah berpotensi menjadi medium penguatan kekuasaan melalui konsensus semu yang dibangun dengan menyembunyikan narasi alternatif atau membungkam suara-suara marjinal.

Kekhawatiran akan hilangnya sejumlah peristiwa penting dari narasi sejarah nasional bukan sekadar soal akademik, melainkan soal politik pengetahuan. Ketika sejarah dikendalikan oleh aktor-aktor dengan agenda terselubung, maka yang terjadi adalah pembentukan memori kolektif yang disesuaikan dengan kebutuhan kekuasaan. Hal ini persis sebagaimana yang dicemaskan Michel Foucault, bahwa sejarah adalah bagian dari medan kuasa yang dapat direkayasa untuk menegakkan wacana dominan.

Meskipun demikian, ada sisi yang patut diapresiasi dari fenomena ini, yaitu tumbuhnya partisipasi aktif dari berbagai kalangan masyarakat dalam merespons isu sejarah. Wacana penulisan ulang sejarah tidak lagi menjadi monopoli akademisi sejarah semata, melainkan juga mengundang perhatian arkeolog, antropolog, budayawan, tokoh agama, tokoh perempuan, tokoh pemuda, hingga komunitas pemerhati sejarah lokal. Perdebatan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang matang secara intelektual dan sadar akan pentingnya narasi masa lalu.

Dalam kerangka public sphere, Jurgen Habermas, dinamika ini menunjukkan bahwa sejarah telah menjadi bagian dari diskursus rasional publik, bukan sekadar produk institusional. Dengan partisipasi yang meluas, sejarah dapat terus dikritisi, ditafsir ulang, dan dijaga integritasnya dari dominasi tunggal.

Penulisan ulang sejarah Indonesia tetap memiliki urgensi historis dan strategis, terutama dalam upaya membentuk jati diri nasional yang merdeka dari bias kolonial. Namun, prosesnya harus dilakukan dengan hati-hati, terbuka, dan berbasis kajian ilmiah lintas disiplin. Sejarah tidak boleh tergesa-gesa diubah hanya demi legitimasi sesaat, melainkan harus menjadi ruang kebenaran yang terus dijaga dari manipulasi kuasa. Sebab sejarah yang terburu-buru dan hegemonik hanya akan melahirkan bangsa yang kehilangan akarnya sendiri. (*)

News Feed