FAJAR, MAMUJU — Kebijakan Amerika Serikat yang menetapkan tarif impor hingga 32% terhadap produk perikanan global, termasuk dari Indonesia, dinilai tidak perlu menimbulkan kekhawatiran berlebihan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Barat, Suyuti Marsuki, menyebut langkah tersebut sebagai bagian dari dinamika politik dagang internasional yang lazim digunakan negara maju untuk melindungi industri domestik mereka.
“Catatan saya saat berada di Kamar Dagang Amerika di Washington DC pada 2014 menunjukkan bahwa AS secara rutin menolak puluhan jenis komoditas perikanan setiap bulan, dengan alasan teknis seperti ukuran di bawah standar (below size) atau kualitas yang tidak memenuhi syarat (under quality). Ini bukan hal baru, melainkan bagian dari permainan standar perdagangan internasional yang sarat muatan politik,” ujar Suyuti.
Menurutnya, Indonesia tidak sepenuhnya bergantung pada pasar Amerika Serikat. Negara-negara seperti Jepang, Tiongkok, dan kawasan Uni Eropa, termasuk pasar domestik, justru memiliki potensi besar sebagai tujuan distribusi produk perikanan nasional. Komoditas unggulan seperti udang vaname dan ikan nila terbukti mampu bersaing di berbagai pasar tersebut.
“Fokus kita sebaiknya bergeser dari ketergantungan ekspor ke penguatan distribusi domestik dan antarwilayah. Bahkan pasar lokal dan regional sering kali kewalahan memenuhi permintaan,” jelasnya.
Suyuti juga menyoroti tren positif konsumsi ikan di dalam negeri. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada 2023 tercatat sebesar 57,61 kg per kapita per tahun, dan ditargetkan meningkat menjadi 62,05 kg per kapita pada 2024.
“Jika satu orang Indonesia mengonsumsi 90 kg ikan per tahun, atau sekitar 7 kg per bulan, maka potensi penyerapan ikan melalui berbagai olahan lokal seperti bau piapi, penja, dan bau tappi sangat besar. Apalagi jika didorong lewat program nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG),” tambahnya sambil tersenyum.
Ia optimistis, jika program MBG dijalankan secara masif dan berkelanjutan, maka jutaan ton produk perikanan bisa terserap oleh pasar domestik untuk mendukung pemenuhan gizi masyarakat, khususnya anak-anak dan kelompok rentan.
Lebih lanjut, Sulawesi Barat disebut telah menunjukkan peran strategis dalam mendukung pasokan antarwilayah. Misalnya, kebutuhan udang vaname di Sulawesi Selatan sebagian besar dipenuhi dari Sulbar. Sementara itu, kawasan industri di Morowali, Sulawesi Tengah, secara rutin meminta suplai 120 ton ikan nila per bulan dari Sulbar untuk konsumsi pekerja industri smelter.
“Itu baru dari satu kabupaten. Bayangkan jika seluruh kawasan industri melakukan hal serupa. Kita jelas tidak akan kekurangan pasar,” tegasnya.
Karena itu, Suyuti menekankan pentingnya membangun sistem hilirisasi yang kokoh dan jalur distribusi antarwilayah yang efisien, dibanding terlalu mengandalkan pasar ekspor yang penuh ketidakpastian dan kepentingan politik.
“Kita tidak boleh terjebak dalam ilusi bahwa ekspor adalah satu-satunya solusi. Yang paling utama adalah memastikan kekuatan konsumsi dan produksi dalam negeri menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional,” pungkasnya. (*)