English English Indonesian Indonesian
oleh

Pro-Kontra Pemilu Dipisah, Politikus Beda Sikap

MAKASSAR, FAJAR — Keputusan MK memisahkan pemilu nasional dan lokal menuai penolakan. Bahkan dari MPR RI sendiri.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah mendapat penentangan dari Sekretaris Jenderal Partai Gerindra sekaligus Ketua MPR RI Ahmad Muzani.

Menurutnya, pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah bukan hanya berpotensi menyulitkan dari sisi teknis dan politik. Lebih jauh, juga bisa bertentangan secara prinsip dengan konstitusi negara.

Wacana pemisahan pemilu sebenarnya pernah dibahas dalam proses legislasi UU Pemilu di DPR. Namun, saat itu opsi itu tidak diambil karena mayoritas fraksi berpandangan bahwa model pemisahan ini tidak sejalan dengan semangat negara kesatuan.

“Pemilu yang terpisah lebih cocok diterapkan dalam sistem negara federal, sedangkan Indonesia secara konstitusional telah menegaskan dirinya sebagai negara kesatuan,” ucap Ahmad Muzani kala berkunjung ke Makassar, pekan lalu.

Pada pemilu serentak sebelumnya, pemilihan presiden, DPR, DPD, dan DPRD digelar bersamaan juga merupakan hasil putusan MK. Karena itu, munculnya putusan baru yang justru memisahkan pemilu, menimbulkan pertanyaan besar terkait konsistensi lembaga yudisial tertinggi tersebut dalam menafsirkan konstitusi.

“Perubahan sikap MK bisa membingungkan banyak pihak, termasuk partai politik dan penyelenggara pemilu,” ujarnya.

Dia menyoroti potensi pertentangan antara putusan MK dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 22E. Pasal tersebut menyebutkan pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Jika pilkada dan pemilihan legislatif tingkat daerah baru digelar dua setengah tahun setelah pemilu nasional, maka rentang waktu tersebut secara teknis memperpanjang masa jabatan dan menunda pergantian kekuasaan di daerah.

“Hal ini, dapat dikategorikan sebagai bentuk pemunduran yang berisiko bertentangan dengan prinsip dasar pelaksanaan pemilu lima tahunan,” ucapnya.

Kekhawatiran lain, muncul ketidaksinkronan antara lembaga pusat dan daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Jika presiden dan parlemen nasional sudah terbentuk pasca-pemilu nasional, sementara kepala daerah dan DPRD masih menunggu pilkada, maka dapat terjadi ketimpangan ritme koordinasi antara pusat dan daerah.

“Dalam praktiknya, hal ini bisa memengaruhi efektivitas kebijakan dan pelayanan publik,” katanya.

Sejauh ini, Partai Gerindra belum mengambil sikap final terkait langkah hukum atau politik atas putusan ini. Pihaknya masih memerlukan waktu untuk melakukan kajian mendalam.

“Kami di MPR juga telah melakukan komunikasi dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian serta Ketua KPU Mochammad Afifuddin, yang menurutnya juga tengah melakukan kajian atas implikasi putusan MK tersebut,” tuturnya.

Dalam pandangan Gerindra, pemilu lima tahunan bukan sekadar rutinitas administratif, tetapi bagian dari pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat yang diatur secara tegas dalam konstitusi.

“Setiap perubahan yang menyangkut sistem dan jadwal pemilu harus mengacu pada landasan konstitusional, bukan semata pertimbangan teknis,” terangnya.

Demi Kualitas

Sebelumnya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menegaskan pemisahan pemilu bertujuan untuk mewujudkan pemilu yang lebih berkualitas, sederhana, dan mudah diikuti oleh pemilih, sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Dalam pertimbangannya, MK menilai penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dalam waktu berdekatan menyulitkan pemilih menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu sebelumnya. Isu pembangunan daerah pun kerap tenggelam di tengah dominasi isu nasional saat pemilu berlangsung.

Mahkamah juga mencatat bahwa penggabungan jadwal pemilu berdampak pada kinerja partai politik, karena harus mempersiapkan kader untuk berbagai tingkatan secara bersamaan. Hal ini mendorong pragmatisme dan perekrutan kandidat berbasis popularitas demi kepentingan elektoral semata, sehingga mengabaikan proses demokratis yang ideal.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan bahwa beban kerja yang menumpuk pada penyelenggara pemilu juga mengganggu kualitas pelaksanaan pemilu. Selain itu, jadwal yang berdekatan menyebabkan masa kerja penyelenggara menjadi tidak efisien karena hanya aktif dalam tugas inti selama sekitar dua tahun.

Dari sisi pemilih, Saldi Isra menambahkan bahwa pemilu lima kotak menyebabkan kejenuhan dan membingungkan pemilih karena banyaknya calon yang harus dipilih dalam waktu terbatas. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Terkait waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah, MK menyatakan bahwa pemungutan suara untuk memilih DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden dilakukan secara serentak.

Keputusan Strategis,
namun Bersoal di DPRD

Ketua Badan Pemenangan Pemilu Daerah (Bappilu) Partai Demokrat Sulsel Andi Januar Jaury Dharwis menilai keputusan MK sebagai langkah strategis. Putusan itu sarat makna, namun tidak lepas dari tantangan besar, khususnya bagi partai-partai di daerah.

Dari sisi nasional, keputusan ini dapat dimaknai sebagai upaya menata ulang desain pemilu agar lebih efisien dan terfokus. Pemilu 2024 menjadi pelajaran penting tentang kompleksitas sistem yang melelahkan secara struktural dan emosional.

Pemisahan waktu antara pemilu nasional dan daerah membuka ruang untuk strategi politik yang lebih tertata, dengan waktu yang cukup untuk konsolidasi dan penguatan kaderisasi.

“Jika dikelola dengan baik, pemilu yang terpisah ini bukan hanya soal jeda waktu lima tahunan, tetapi menjadi peluang untuk membangun demokrasi yang hidup dan aktif sepanjang tahun,” kata Januar.

Dari sudut pandang regional, pemisahan ini memberi ruang lebih luas bagi isu-isu lokal untuk tampil dominan. Politik daerah tidak lagi harus bersaing dalam bayang-bayang euforia nasional.

Kader-kader lokal yang memiliki akar kuat di masyarakat dapat lebih leluasa tampil sebagai representasi daerah yang otentik. “Tantangan yang harus diantisipasi adalah bagaimana menjaga agar pemilu daerah tetap mendapat perhatian dan partisipasi publik yang tinggi, serta tidak tereduksi menjadi sekadar rutinitas formal tanpa substansi politik,” ucapnya.

Meski demikian, di tingkat lokal, ada beberapa hal yang justru berpotensi merugikan partai politik daerah. Salah satunya adalah kekosongan jabatan kepala daerah selama dua tahun yang akan diisi oleh penjabat (Plt).

Hal ini menjadi kerugian politik tersendiri karena Plt umumnya tidak berasal dari kader partai dan tidak memiliki hubungan politis dengan partai pemenang sebelumnya.

“Kondisi ini berpotensi menghambat kesinambungan program dan melemahkan posisi partai di level eksekutif,” katanya.

Selain itu, keterlambatan dalam proses regenerasi DPRD juga menjadi sorotan. Jika masa jabatan anggota DPRD diperpanjang hingga 2031, maka kader-kader potensial yang seharusnya mendapat ruang pasca-Pileg 2024 akan kehilangan momentum tampil.

Keadaan ini bisa mengganggu proses kaderisasi dan menurunkan semangat berkompetisi secara sehat. Januar juga mencemaskan ketimpangan ritme politik antara pusat dan daerah.

“Ketika wakil rakyat di tingkat nasional sudah aktif menjalankan fungsi legislasi, kepala daerah dan DPRD justru masih dalam masa peralihan, menciptakan potensi ketidaksinkronan kebijakan,” ujarnya.

Kendati menghadapi berbagai tantangan, Partai Demokrat Sulsel memastikan diri tetap siap menghadapi skema pemilu baru ini. Partai ini akan melakukan konsolidasi secara menyeluruh.

Mulai dari penguatan struktur internal hingga tingkat kelurahan dan desa, pemetaan ulang basis suara untuk pilkada mendatang, hingga mendorong kader yang belum berhasil di Pileg 2024 untuk tetap aktif di ruang publik.

Narasi politik lokal yang relevan dan menyentuh langsung kebutuhan masyarakat juga perlu dibangun, agar pilkada tetap bermakna secara substansi.

“Partai tidak boleh diam. Kita harus mampu mengubah setiap keputusan menjadi ruang strategi. Demokrasi bisa ditunda, tapi perjuangan tidak pernah boleh berhenti,” tegasnya.

Bagi Januar, putusan MK ini memang final dan mengikat secara hukum. Namun, dalam konteks politik, keputusan ini menuntut penyesuaian mendalam terhadap strategi partai, mekanisme kaderisasi, dan penguatan fungsi representasi.

“Kesiapan partai politik di daerah akan menjadi penentu utama apakah pemisahan pemilu ini akan menjadi jalan menuju perbaikan sistem demokrasi, atau justru membuka ruang kosong yang bisa dimanfaatkan oleh kekuatan non-demokratik,” tuturnya.

Legislator
Menjabat
7,5 Tahun

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid menilai bahwa isu keserentakan pemilu sesungguhnya telah menjadi bagian dari diskursus konstitusional yang panjang.

Persoalan ini telah dibahas dan diputuskan sejak Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, yang kemudian diperkuat melalui Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019.

“Dalam putusan-putusan tersebut, MK telah menetapkan sejumlah varian model keserentakan pemilu yang dianggap tetap konstitusional menurut UUD 1945,” ujarnya.

MK sejatinya telah memberikan panduan konstitusional (constitutional guide) mengenai berbagai bentuk keserentakan, mulai dari pelaksanaan pemilu nasional dan lokal secara bersamaan, hingga pemisahan pelaksanaannya dalam waktu berbeda.

“Pilihan model mana yang akan diambil menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Sayangnya, hingga saat ini belum ada perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk mengakomodasi arah baru sebagaimana yang ditetapkan oleh MK,” ucap Fahri.

Dengan diberlakukannya pemisahan antara pemilu nasional dan daerah mulai 2029, akan timbul implikasi konstitusional dan teknis yang harus diperhatikan, terutama terkait masa jabatan anggota DPRD serta kepala daerah.

“Contohnya anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang terpilih melalui Pemilu 14 Februari 2024, yang pada prinsipnya akan mengakhiri masa jabatannya pada 2029, mungkin perlu diperpanjang hingga 2031 agar selaras dengan jadwal pemilu lokal baru,” katanya.

Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD adalah pilihan kebijakan hukum (legal policy) yang relevan dan dapat dipertimbangkan secara serius. Dengan demikian, legislator saat ini akan menjabat 7,5 tahun.

Sedangkan untuk kepala daerah hasil Pilkada serentak 27 November 2024, pembentuk undang-undang memiliki keleluasaan penuh untuk menentukan skema yang tepat apakah melalui mekanisme perpanjangan masa jabatan, atau dengan mengangkat Penjabat (Pj) kepala daerah untuk mengisi kekosongan hingga pilkada berikutnya.

Seluruh pengaturan transisi ini merupakan bagian dari rekayasa konstitusional (constitutional engineering) yang harus dirumuskan secara cermat dan sesuai dengan prinsip formulasi norma transisional dalam hukum tata negara.

“Penentuan model mana yang paling tepat secara konstitusional merupakan bentuk open legal policy yang sepenuhnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang dalam merancang bangunan sistem pemilu ke depan,” pungkasnya. (sae/zuk)

News Feed