FAJAR, JAKARTA — Kematian tragis Brigadir Muhammad Nurhadi, anggota Propam Polda NTB, terus memicu gelombang keprihatinan publik. Nurhadi ditemukan tak bernyawa di sebuah vila di Gili Trawangan, Lombok Utara, April lalu. Dugaan sementara, ia tewas usai pesta bersama dua atasannya Kompol YG dan Ipda HC serta dua perempuan, di lokasi privat tersebut.
Anggota Komisi III DPR RI, Sarifuddin Sudding, menyebut tragedi ini sebagai ujian nyata bagi komitmen reformasi institusi Polri. Ia menilai, kasus Nurhadi bukan hanya mencoreng citra penegakan hukum, tetapi juga memperlihatkan masih kuatnya budaya impunitas dalam tubuh kepolisian.
“Tragedi kematian Brigadir Muhammad Nurhadi tidak hanya meninggalkan luka di tubuh Polri, tetapi juga menimbulkan kekecewaan publik yang mendalam terhadap wajah penegakan hukum di negeri ini,” kata Sudding di Jakarta, Rabu (9/7).
Hasil autopsi yang dirilis menunjukkan sejumlah luka serius di tubuh korban—dari memar, lecet, luka robek, hingga tulang lidah yang patah. Indikasi kekerasan itu memperkuat dugaan bahwa Nurhadi sempat dianiaya sebelum akhirnya tenggelam dalam kondisi tidak sadar.
Sudding juga menyoroti gaya hidup menyimpang aparat yang menurutnya jauh dari nilai moral dan etika sebagai penegak hukum. Ia mendukung langkah Polri yang menetapkan Kompol YG dan Ipda HC sebagai tersangka, serta menegaskan proses pidana harus berjalan tuntas.
“Bagaimana polisi bisa dipercaya publik kalau perilakunya sendiri menyimpang dari nilai-nilai hukum dan kemanusiaan?” ujarnya.