Luna juga menambahkan, komunikasi publik menjadi kunci penting agar masyarakat memahami mekanisme perlindungan ini, sekaligus menghindari potensi risiko seperti penyalahgunaan dan kesenjangan layanan.
Luna menjelaskan bahwa PP 29/2025 telah mengantisipasi potensi pelaku menunda restitusi dengan skema tanggung jawab negara.
Negara tetap bisa menagih kembali dana bantuan yang sudah diberikan kepada korban lewat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), misalnya melalui gugatan perdata atau penyitaan aset.
“Ini bentuk keberpihakan negara sekaligus cara menegaskan tanggung jawab pelaku,” ujarnya.
Regulasi ini, lanjut Luna, juga menjawab kekhawatiran soal stigma dan perlindungan korban dengan kewajiban menjaga kerahasiaan data saksi dan korban.
Meski masih ada tantangan lintas sektoral, seperti birokrasi atau lambannya penuntasan kasus, PP ini sudah menegaskan adanya standar layanan yang terukur serta kewajiban pemulihan terpadu bagi korban, mulai dari aspek medis hingga hukum.
“PP ini sudah ada, hore! Tapi mengkomunikasikan dan mendampingi perjalanan implementasinya adalah pekerjaan rumah kita semua,” pungkas Luna.
Ia mendorong semua pihak, termasuk masyarakat sipil, untuk turut serta mengawasi dan memastikan aturan ini benar-benar menjadi perlindungan nyata bagi korban kekerasan seksual di Indonesia.(wis/lin)