Dengan adanya regulasi tersebut, lanjutnya, negara tak hanya menghukum pelaku, tapi juga membantu proses pemulihan korban. Ini sekaligus mempertegas bahwa keadilan tidak berhenti di vonis hakim, tapi harus sampai pada pemulihan korban.
Regulasi ini juga menjadi angin segar bagi wilayah-wilayah di daerah, termasuk Sulsel dan kawasan Indonesia Timur lainnya, yang sering kali menghadapi keterbatasan akses layanan pemulihan korban.
Lusia berharap implementasi PP ini tidak hanya berhenti di atas kertas, tapi benar-benar dirasakan oleh korban.
“Korban di daerah, apalagi yang jauh dari pusat kota, sering kali kesulitan menjangkau layanan. Kita harap PP ini juga diikuti dengan penguatan layanan pemulihan di tingkat lokal,” ujarnya.
Ia pun mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah daerah, untuk bersinergi memastikan hak korban terpenuhi. “Sudah waktunya kita berpihak penuh kepada korban. Mereka butuh dukungan, bukan stigma,” pungkasnya.
Keadilan untuk Korban
Pemerhati Perempuan dan HAM Sulsel, Luna Vidia, menilai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2025 merupakan sinyal politik kuat atas komitmen negara menindaklanjuti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Menurutnya, esensi utama dari PP ini bukan sekadar kompensasi finansial, melainkan juga penguatan hak korban atas keadilan dan proses hukum yang adil.
“Prinsip due diligence harus ditegakkan sejak awal—mulai dari pencegahan, penyelidikan, hingga penindakan pidana. Ini penting terutama di tingkat mitra dan penyalur layanan,” tegasnya.