English English Indonesian Indonesian
oleh

Penertiban Truk ODOL Tak Bisa Instan, Pengamat: Perlu Strategi Bertahap Berbasis Komoditas

FAJAR, JAKARTA— Penertiban truk over dimension dan overload (ODOL) tidak bisa dilakukan secara instan. Pemerhati transportasi, Muhammad Akbar, menegaskan bahwa pendekatan hukum semata tidak cukup tanpa strategi yang mempertimbangkan karakteristik komoditas, struktur biaya logistik, serta dampaknya terhadap inflasi dan stabilitas harga.

“Tanpa data akurat dan pemetaan komoditas yang menyeluruh, penindakan ODOL justru berpotensi memperbesar ketimpangan dan memicu gejolak ekonomi,” ujar Akbar, Senin, 7 Juli 2025.

Ia mencontohkan kondisi riil di lapangan, seperti yang dialami sopir truk pengangkut semen.

“Kalau patuh aturan, hasilnya cuma cukup untuk beli solar. Lalu, anak istri saya makan apa?” keluh Pak Budi, yang menurut Akbar mencerminkan realitas pahit sistem logistik nasional: pelanggaran justru lebih menguntungkan ketimbang kepatuhan.

Selama lebih dari satu dekade, ODOL menjadi isu laten di sektor transportasi dan logistik. Dampaknya signifikan—mulai dari kerusakan infrastruktur jalan, meningkatnya angka kecelakaan, hingga membengkaknya anggaran negara untuk memperbaiki kerusakan jalan yang seharusnya belum waktunya diperbaiki.

“Yang taat aturan justru kalah bersaing dengan pelanggar. Operator kecil seperti Pak Budi tidak punya pilihan selain melanggar demi bertahan hidup. Akibatnya, masyarakat yang menanggung risikonya—baik dari sisi keselamatan maupun fluktuasi harga barang,” jelas Akbar.

Ia menambahkan, pasar angkutan barang yang terlalu bebas dan tanpa tarif batas bawah memaksa operator menurunkan harga angkut.

“Dalam situasi seperti ini, ODOL menjadi satu-satunya cara bertahan karena margin keuntungan semakin tipis,” katanya.

Menurut Akbar, pemerintah kerap ragu bersikap tegas karena khawatir terhadap efek domino ekonomi. Penegakan aturan yang ketat dapat menurunkan kapasitas angkut, menaikkan ongkos kirim, dan memicu inflasi.

“Ini bukan soal takut pada pelanggar, tapi takut pada inflasi. Sistem logistik kita belum efisien. Penertiban ODOL secara serentak justru bisa memicu lonjakan harga pangan dan bahan bangunan,” paparnya.

Ia menekankan bahwa pendekatan hukum yang bersifat generik harus diubah menjadi pendekatan selektif berbasis data komoditas.

“Misalnya, kenaikan biaya angkut 10 persen untuk batu bara mungkin tidak berdampak besar. Tapi kalau itu terjadi pada cabai atau bawang, dampaknya bisa membuat harga naik 15 hingga 20 persen di pasar,” terang Akbar.

Ia menyoroti Vietnam sebagai contoh sukses dalam menertibkan ODOL secara bertahap tanpa mengguncang pasar. Negara tersebut memulai reformasi dengan membangun database pergerakan komoditas, memberikan insentif peremajaan armada (seperti potongan pajak dan layanan prioritas), lalu menerapkan sanksi tegas secara progresif.

“Indonesia bisa meniru. Pertama, petakan komoditas yang paling banyak diangkut truk ODOL—apakah dari sektor tambang, pangan, atau industri. Kedua, kaji sensitivitas harga terhadap biaya logistik. Dari situ, strategi penertiban bisa dirancang dengan tepat,” ujarnya.

Ia menyarankan agar barang kebutuhan pokok diberi masa transisi dan insentif khusus. Sementara untuk komoditas tidak sensitif, seperti barang elektronik atau mewah, penindakan bisa dilakukan lebih cepat.

Akbar juga menegaskan bahwa penanganan ODOL tidak bisa hanya dibebankan kepada Kementerian Perhubungan. Penataan sistem logistik nasional melibatkan banyak sektor: Kementerian Perdagangan, Keuangan, Perindustrian, BUMN sektor keuangan, Kepolisian, hingga pemerintah daerah.

“Kalau hanya razia di lapangan, yang ditindak hanya sopir atau operator kecil. Sementara pemilik barang, pemilik armada, dan sistem tarif yang mendorong pelanggaran justru lolos dari tanggung jawab,” tegasnya.

Menurutnya, penertiban ODOL harus menjadi bagian dari reformasi sistem logistik nasional—meliputi penataan tarif angkutan, integrasi sistem transportasi barang, serta pembangunan infrastruktur jalan sesuai daya dukung teknis.

“Kita tidak bisa terus membiarkan ODOL hanya karena takut harga barang naik. Jika dibiarkan, biaya jangka panjangnya jauh lebih mahal—baik dari sisi ekonomi, keselamatan, maupun keadilan antar pelaku usaha,” pungkas Akbar.

Sudah saatnya, kata dia, pemerintah berhenti bersikap reaktif. Masalah ODOL bukan sekadar soal teknis, melainkan keberanian untuk menata ulang sistem distribusi yang selama ini permisif dan tidak adil. (an)

News Feed