Di Bulukumba misalnya, data deforestasi di hulu tidak otomatis memicu siaga banjir di hilir. Akibatnya, masyarakat tidak punya waktu cukup untuk evakuasi.
Solusi dari Telat Waspada ke Siaga Dini
Yusran mengatakan para pihak wajib melek teknologi dan informasi melalui, Teknologi Terpadu Hulu-Hilir. Masing-masing pemkab wajib pasang sensor IoT di daerah rawan seperti di Sungai Bantaeng dan Bulukumba untuk pantau ketinggian air dan kelembaban tanah secara real-time.
Kemudian membangun platform digital seperti PetaBencana.id versi Sulsel, yang bisa kirim notifikasi otomatis ke warga via SMS atau aplikasi.
Perbaiki Regulasi, Jangan Hanya Proyek
Namun yang tidak kalah pentingnya lagi, kata Yusran, revisi Perda Pemkab di Sulsel untuk wajibkan pemda update sistem peringatan dini setiap 3 tahun, dengan sanksi tegas jika lalai.
Standarkan pesan darurat, ganti waspada dengan instruksi jelas, misalnya evakuasi ke posko terdekat dalam 1 Jam!
“Libatkan Mlmasyarakat sebagai sensor hidup, latih kelompok tani dan pemuda di hulu untuk jadi relawan pemantau, laporkan perubahan debit air via WhatsApp Group khusus. Lalu rutin adakan gladi evakuasi bulanan di daerah rawan seperti Sinjai dan Jeneponto,” tegas Yusran.
Tantangan dan harapan
implementasi solusi ini memang tidak mudah. Keterbatasan anggaran dan resistensi birokrasi sering jadi penghalang. Namun,
pilot project di satu kabupaten (misal Bantaeng) bisa jadi contoh sebelum diperluas.
Banjir adalah keniscayaan alam, tapi korban jiwa bukan takdir. Dengan sistem peringatan yang cerdas, Sulsel bisa lebih siap,” lugas Yusran, aktivis lingkungan Sulsel.(*)