“Mulai dari tingkat Polsek sampai Polres, itu pola yang berulang,” ujar Ansar.
Masalah utamanya, kata dia, terletak pada tumpang tindih kewenangan dan ketiadaan pengawasan. Dalam proses penyelidikan dan penyidikan, tidak ada kontrol langsung dari kejaksaan. Aparat kepolisian bekerja tanpa pengawasan eksternal yang memadai.
“Polri hanya bertanggung jawab pada presiden, dan itu berisiko secara politik,” tambahnya.
Dalam penanganan aksi demonstrasi, misalnya, kekerasan kerap terjadi. Mahasiswa yang turun ke jalan untuk menyuarakan hak justru berhadapan dengan represi.
“Tidak ada SOP yang menjamin prinsip-prinsip HAM ditegakkan di lapangan,” kata Ansar.
LBH Makassar mencatat sedikitnya 20 kasus kekerasan dalam setahun terakhir yang menunjukkan betapa ringkihnya jaminan keamanan bagi warga sipil.
Dalam iklim seperti itulah, Fesmed 2025 menghadirkan sesuatu yang berbeda. Bukan hanya sebagai forum intelektual bagi kalangan jurnalis, tapi sebagai ruang ekspresi para korban kekerasan.
“Ini tempat di mana para korban bisa bicara tanpa takut diintimidasi,” ujar mantan Ketua AJI Makassar, Nurdin Amir saat obrolan ringan sore itu.
Fesmed tahun ini memang dirancang bukan hanya untuk menyajikan diskusi panel, workshop, atau pelatihan media. Tapi juga sebagai ruang kesaksian, di mana jurnalis korban kekerasan, aktivis lingkungan yang dikriminalisasi, hingga kelompok minoritas yang didiskriminasi juga diperhadapkan dengan hukum, bisa naik ke panggung dan didengar.
Di tengah normalisasi kekerasan dan melemahnya institusi demokrasi, festival ini ingin menjadi pengecualian. Sebuah ruang kecil di mana negara tidak ikut campur. Di mana aparat tak berjaga di balik pagar. Di mana mikrofon tak dibatasi sensor.