FAJAR, MAKASSAR– Tes Potensi Akademik (TPA) pada Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 menuai sorotan. Rentetan masalah justru hadir pasca pelaksanaan SPMB.
Seluruh tahapan SPMB di tingkat Provinsi Sulawesi Selatan telah usai, baik untuk sekolah Unggulan maupun sekolah negeri reguler.
Pada pelaskanaan SPMB tahun ini ada beberapa perubahan terjadi. Bukan hanya namanya yang berbeda dengan PPDB tahun 2024, namun mekanisme pelaksanaannya juga berubah.
Pada PPDB tahun 2024, jalur zonasi yang kini menjadi jalur domisili, merupakan jalur utama yang paling banyak kuota penerimaannya dan jarak rumah calon murid jadi patokan utama.
Tahun ini, lewat jalur domisili sekalipun, hasil TPA menjadi patokan utama. Sehingga, jarak rumah tidak lagi terlalu dipertimbangkan.
TPA digelar sebelum pendaftaran bagi Sekolah Unggulan dibuka. Hasil TPA menjadi modal calon murid untuk SPMB. Namun, belakangan bukan hanya jadi patokan Sekolah Unggulan yang hanya membuka jalur prestasi, melainkan juga pada penerimaan reguler.
Dampak dari TPA menjadikan banyaknya calon murid yang secara relatif memiliki jarak rumah ke sekolah jauh lebih dekat dibandingkan calon murid lain justru tidak lolos. Seperti yang terjadi di SMAN 12 Makassar, Jl Moha Lasuloro, Kamis, 3 Juli lalu. Orang tua calon murid tampak memblokade jalan menuju ke sekolah akibat anak mereka yang berumah dekat dengan sekolah namun tak lolos jalur domisili.
Anggota Komisi E DPRD Sulsel Yeni Rahman, menilai penerapan TPA pada jalur domisili membingungkan dan berpotensi menutup akses pendidikan bagi banyak calon murid. SPMB Tahun ini seakan hanya mengakomodasi calon murid yang cerdas.
“Banyak orang tua yang bertanya ke kami, kenapa ada Tes Potensi Akademik padahal jalurnya domisili? Tidak nyambung. Kalau domisili ya domisili, kalau akademik ya akademik. Kenapa harus dicampur?,” ujar politisi PKS ini.
Yeni juga memberikan kritikannya kepada tingkat kesulitan soal TPA yang dinilainya terlalu sulit dan tidak sesuai dengan jalur seleksi yang digunakan. kata Yeni, kebijakan ini muncul tanpa sosialisasi, simulasi, atau uji coba yang layak.
“Kami juga ingin tahu bagaimana indikator penyusunan soal, dan mengapa tidak ada sosialisasi, simulasi, ataupun uji coba sebelumnya. Ini mendadak sekali, bahkan kami di Komisi E tidak diinformasikan sebelumnya,” tukas Yeni.
Menurut Yeni, mekanisme seleksi SPMB tahun ini menyisakan ketidakadilan bagi siswa dengan kemampuan akademik menengah. Ia menyebut banyak anak yang gagal di semua jalur, baik prestasi akademik, afirmasi, dan domisili, hingga kehilangan akses untuk bersekolah di negeri.
“Anak-anak yang tidak lulus jalur akademik, tidak bisa masuk. Jalur afirmasi pun tidak. Jalur domisili juga gagal. Jadi apa jalurnya? Banyak anak akhirnya harus mengubur harapan dan menangis di sudut rumahnya,” tegas legislator dua periode DPRD Makassar ini.
Anggota Komisi E lainnya, Mahmud juga menyoroti pelaksanaan TPA sebagai bagian dari formula penilaian akhir dalam SPMB. Ia menyebut belum ada penjelasan resmi dari Dinas Pendidikan terkait dasar kebijakan tersebut.
“Saya akan menyarankan kepada pimpinan Komisi untuk memanggil kembali Dinas Pendidikan. Kami belum tahu asal-usul kebijakan ini. Apa dasar penyusunan formula penilaiannya yang menggabungkan nilai rapor semester 1–5 dengan TPA?,” ungkapnya.
Legislator dari fraksi NasDem ini menyebut terdapat kemungkinan siswa dengan nilai rapor tinggi tidak lulus karena nilai TPA rendah, dan sebaliknya. Ia menerima laporan adanya siswa dengan rata-rata nilai rapor 9,4, namun tidak lolos karena nilai TPA yang rendah.
“Ini menjadi pertanyaan besar, kenapa bisa terjadi seperti itu? Bahkan menurut Kadis, rata-rata nilai TPA memang cenderung rendah,” tandasnya.
Mahmud juga menyoroti kendala teknis yang terjadi saat pelaksanaan TPA, terutama pada hari pertama ujian.
“Ada error pada aplikasi, soal tidak sinkron dengan jawaban. Maka perlu dipastikan kembali kesiapan teknis dan validitas sistem seleksi agar tidak merugikan siswa,” tegasnya.
Jalur domisili memiliki kuota 35 persen, jalur afirmasi 30 persen, dan jalur mutasi 5 persen. Sementara jalur prestasi yang dibuka setelah tiga jalur tersebut memiliki kuota 30 persen yang masing-masing terbagi atas prestasi akademik dan non akademik, keagamaan, dan kepemimpinan.
Jalur Domisili merupakan sistem domisili yang memprioritaskan penerimaan siswa berdasarkan wilayah domisili. Untuk calon murid baru yang berada di wilayah domisili yang ditetapkan oleh Pemprov Sulsel dengan berbasis kelurahan/desa.
Kepala Disdik Sulsel Iqbal Nadjamuddin sebelumnya, mengatakan, jika calon murid yang mendaftar jalur domisili melebihi jumlah kuota yang ditetapkan, maka pemenuhan kuota dilakukan berdasarkan urutan hasil tes potensi akademik, jarak terdekat, dan usia tertua. Jika jalur domisili belum terpenuhi, maka sisa kuota ditambahkan ke kuota jalur prestasi akademik. (uca/*)