Sementara kesepakatan dengan China lebih bersifat deeskalasi, yaitu menurunkan tarif resiprokal dari 145 persen menjadi 30 persen dari AS ke China. Sebaliknya, menurunkan tarif retaliasi China ke AS dari 125 persen menjadi 10 persen.
Kesepakatan antara pemerintah AS dengan China terhambat oleh pemberlakuan non tariff barrier ekspor rare earth atau critical mineral (tanah jarang) dan magnet ke AS. Kedua produk ini sangat dibutuhkan sebagai bahan baku utama sektor manufaktur AS, khususnya industri semikonduktor dan pembuatan mesin pesawat.
Skenario perpanjangan penundaan pemberlakukan tarif resiprokal Trump juga dipicu oleh negosisasi yang berkepanjangan antara pemerintah AS dengan Jepang dalam hal ini impor produk pertanian AS oleh Jepang, khususnya beras. Dimana, saat ini Jepang kekurangan stok beras di dalam negerinya.
Selanjutnya dengan Kanada, proses negosiasinya juga akhirnya tidak dilanjutkan oleh presiden Trump karena pemerintah Kanada memberlakukan pajak balasan sangat tinggi terhadap bisnis teknologi digital AS, seperti Amazon, Meta, Alphabet, Google dan Apple.
Sehingga skenario yang juga paling mungkin terjadi adalah skenario ketiga, pemerintahan Trump memberlakukan kebijakan tarif ekstra tinggi kepada beberapa negara yang dianggap tidak kooperatif dengan pemerintahan Trump karena memberlakukan tarif retaliasi.
Sementara terhadap negara yang bersikap kooperatif akan dilakukan pemberlakuan tarif yang lebih rendah. Negara dalam kelompok ini, salah satunya adalah Indonesia yang sejak awal memilih untuk melakukan negosisasi, bukan retaliasi.