Bakau Bukan Hanya Pohon, tetapi Nadi Kehidupan
Bagi Hamzah, hutan bakau ini bukan sekadar penghalang ombak atau pemecah gelombang. Ini adalah jantung yang berdetak, menyimpan denyut kehidupan di setiap jengkalnya.
Akar-akar yang menjalar seperti tangan penyelamat, tak hanya menahan abrasi, tapi juga menjadi rumah bagi kepiting berlarian, ikan yang bersembunyi, dan udang yang berkejaran. “Setiap bakau yang tumbuh,” katanya, adalah pintu masa depan yang terbuka untuk anak cucu kita.”
Suatu sore, ketika Tim Forum Komunitas Hijau (FKH) Sulawesi Selatan menyambanginya, Hamzah duduk di atas batu sungai seperti seorang guru tua yang bersemayam di singgasana kebijaksanaan.
Wajahnya yang keriput memantulkan cahaya senja, garis-garis hidupnya bercerita tentang dedikasi yang tak kenal lelah. “Jangan menanam hanya karena proyek,” ujarnya, suaranya lirih tetapi tegas, tanamlah karena kita berhutang pada bumi.”
Dari Tangan Satu Orang, Menjadi Gerakan Ratusan Hektare
Berkat ketekunannya, lebih dari 500 hektare hutan bakau di Pangkep kini kembali hijau, sebuah mahakarya yang dirajut bukan dalam semalam, tapi lewat puluhan tahun kesabaran.
Hamzah tak hanya mengguratkan bakau di tanah, tetapi juga menanamkan kesadaran di benak warga. Ia mengajarkan bahwa bakau bukan sekadar tumbuhan, melainkan penjaga peradaban. “Jika bakau mati,” katanya dengan nada yang menggugah, “maka hilang sudah benteng terakhir kampung kita.”
Namun, di balik kegigihannya, ada kegelisahan yang mengusik. Ia khawatir, suatu hari nanti, wisatawan akan datang seperti angin lalu membawa keriangan, tetapi meninggalkan sampah dan ketidakpedulian. Ekowisata itu harus mengedukasi, bukan sekadar memamerkan keindahan,” tegasnya. Baginya, bakau adalah warisan yang harus dijaga, bukan dieksploitasi.