Menurut Yusran, garis sempadan sungai dan pantai yang terkikis oleh konsepsi manusia terhadap investasi tambak dan merusak ekosistem Mangrove, bukan rahasia lagi di Sulawesi Selatan. Olehnya itu sederhana saja, lanjut Yusran, yaitu tekadnya membangun tembok hijau yang dibangun oleh mangrove, tetap jadi prioritas utama dan obornya dinyalakan, sebagai wujudnyata merajut kembali hubungan manusia dengan alam.
“Dengan pendekatan safety first, mereka akan kita ajarkan melalui kelas berbagi tentang mitigasi bencana. Dimana rumpun bakau mengurangi energi tsunami hingga 50% (studi UNEP, 2020).
Lalu, edukasi ekonomi sirkular seperti dari daun mangrove menjadi teh herbal, dari buahnya jadi tepung alternatif.
“Jika laut adalah buku harian Bumi, maka mangrove di Pangkep adalah tinta yang tak pernah kering, dan kami akan selalu menulis ulang cerita kepunahan menjadi harapan,” Yusran memungkasi.
Haji Hamzah dan Hutan Bakau: Cinta yang Berakar, Harapan yang Berdaun
Senja merangkak perlahan di pesisir Pangkep, membawa serta bisik angin yang mengusap dedaunan bakau, seolah alam sendiri yang bercerita tentang seorang lelaki yang menjadikan lumpur sebagai kanvas, dan bakau sebagai syair hidupnya.
Namanya Haji Hamzah. Usianya telah melampaui enam dekade, tapi gurat semangatnya masih tegak seperti akar Rhizophora yang mencengkeram tanah.
Sejak remaja, ia menanam bakau satu demi satu, bukan dengan sekadar tangan, tapi dengan hati yang merindukan pesisir tak terkikis waktu. Setiap bibit yang ia tanam adalah janji: janji pada laut, pada tanah, pada generasi yang akan datang.