FAJAR, JAKARTA – Bulan Muharam, sebagai salah satu bulan suci dalam kalender Islam, kembali mengundang umat Muslim untuk menunaikan amalan sunah puasa Tasua dan Asyura. Dua hari penting ini tak sekadar momentum ibadah, namun juga bagian dari warisan spiritual yang mengakar dalam sejarah Islam.
Puasa Tasua (9 Muharam) dan Asyura (10 Muharam) dikenal sebagai amalan sunah yang memiliki nilai historis tinggi. Keduanya dianjurkan oleh Rasulullah SAW sebagai bentuk keteladanan dan bentuk syukur atas penyelamatan Nabi Musa dari kejaran Firaun, peristiwa yang juga dihormati oleh komunitas Yahudi pada masa itu.
Namun, Rasulullah SAW menekankan pembeda. “Kami lebih berhak atas Musa daripada mereka,” sabda Nabi, seraya memotivasi umatnya untuk berpuasa tidak hanya pada hari Asyura, tetapi juga sehari sebelumnya, yakni Tasua. Hal ini bertujuan agar umat Islam memiliki jati diri yang berbeda dalam menjalankan ibadah.
Sejarah
Sebelum puasa Ramadan disyariatkan, puasa Asyura telah dikenal di kalangan Quraisy. Bahkan, menurut riwayat Aisyah RA dalam hadis Bukhari-Muslim, Rasulullah SAW pun pernah menunaikannya. Ketika puasa Ramadan diwajibkan, puasa Asyura tetap dianjurkan sebagai ibadah sunah yang utama.
Keutamaan Puasa
Puasa Asyura memiliki keutamaan besar, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Muslim:
“Puasa Asyura, aku berharap kepada Allah agar dapat menghapus dosa setahun yang lalu.”
Sementara puasa Tasua, meskipun tak dijelaskan memiliki keutamaan pengampunan secara eksplisit, memiliki nilai penting dalam menyempurnakan praktik ibadah yang diajarkan Rasulullah SAW. Melalui Tasua, umat Islam diajak menapaki identitas keagamaannya dengan lebih mandiri.