FAJAR, MAKASSAR– Di balik gemuruh kapal dan tumpukan ikan di Pelabuhan Paotere, suara-suara kecil sering tak terdengar. Anak-anak, yang seharusnya menikmati masa kecil dengan bermain dan belajar, justru harus memanggul beban lebih berat dari tubuh mereka sendiri. Di tengah aroma laut dan riuh pasar, mereka bekerja demi bertahan hidup.
Pelabuhan Paotere, salah satu pelabuhan tersibuk di Makassar, menjadi pusat perdagangan dan aktivitas bongkar muat. Namun, di balik hiruk-pikuk ekonomi tersebut, puluhan anak ditemukan terlibat dalam pekerjaan informal yang berisiko tinggi.
Potret Eksploitasi Anak
Anak-anak ini mengangkat barang, berjualan, bahkan menghadapi risiko kekerasan fisik dan psikologis. Dk (12), misalnya, datang bukan untuk bekerja secara konvensional, tetapi tetap terlibat dalam aktivitas berbahaya.
“Saya datang setiap hari jam 9 pagi sampai jam 12 siang. Cari ikan untuk dibakar, bukan dijual. Saya datang sama teman-teman,” ucapnya polos.
Sementara Fj (15), yang tinggal bersama neneknya di Pannampu, berangkat sejak subuh untuk bekerja hingga tengah malam di pelabuhan. Ia memikul dan membongkar barang dari kapal tanpa jaminan keselamatan atau upah yang pasti.
“Kadang dibayar, kadang tidak,” tuturnya. “Saya pernah dipukul pakai kayu, tapi saya diam saja sampai sembuh.”
Fajri juga mengaku sering dipalak oleh preman pelabuhan, namun tetap kembali demi membantu kehidupan neneknya.
Ak (13), anak lain yang bekerja saat libur sekolah, mengaku belum pernah mengalami kekerasan. Ia bekerja membongkar barang dan memikul belanjaan pelanggan.
“Kalau berat, kadang dikasih lima puluh ribu,” ujarnya singkat.
Perlindungan Anak yang Masih Jauh
Padahal, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Pasal 13 Ayat (1), menegaskan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan, termasuk dari eksploitasi ekonomi. Pasal 76I juga melarang eksploitasi terhadap anak, dengan ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp200 juta.
Namun realitas di lapangan berbicara lain. Ayyub, staf program di Ikatan Pemuda Peduli Sosial Makassar (IKASA), menyebut anak-anak ini adalah korban langsung kemiskinan dan keterbatasan akses.
“Banyak dari mereka bekerja untuk membantu keluarga. Upahnya kecil, tapi beban kerjanya besar,” ujarnya.
Forum Anak Sulsel: Situasi Mendesak
Forum Anak Sulawesi Selatan (FASS) menyoroti kondisi ini sebagai masalah krusial. Yayat, salah satu pengurus, menyebut masih banyak anak-anak yang bekerja membantu bongkar muat atau berjualan di area pelabuhan.
“Sangat miris. Ini menyangkut hak-hak anak yang seharusnya dijaga,” kata Yayat.
FASS berinisiatif membuat program “Pelangi Paotere”, yaitu ruang ramah anak yang menghadirkan aktivitas seperti mendongeng, mewarnai, dan bermain di tengah kesibukan pelabuhan.
Namun keterbatasan sumber daya dan resistensi budaya menjadi tantangan besar. Banyak orang tua masih menganggap anak bekerja adalah hal yang wajar.
Kemiskinan dan Putus Sekolah
Yayat menilai, faktor ekonomi adalah penyebab utama anak-anak terpaksa bekerja. Beberapa bahkan tidak melanjutkan pendidikan formal.
Hal ini dibenarkan oleh Hamkah, pedagang di kawasan pelabuhan. Ia menyaksikan langsung bagaimana anak-anak datang setiap hari, tanpa perlindungan atau alat kerja memadai.
“Banyak anak tidak tamat sekolah, akhirnya kerja angkat-angkat barang. Gajinya kecil, tapi disyukuri,” ujarnya.
Ia menambahkan, meski ada beberapa yang berhasil lewat kerja keras di pelabuhan, tidak semua anak mendapat kesempatan yang sama.
Dampak Tak Kasatmata
Dampak pekerjaan pada anak tak hanya soal kelelahan fisik, tapi juga psikologis. Kekerasan, tekanan mental, dan hilangnya masa kanak-kanak adalah risiko nyata.
“Kalau mereka terus seperti ini, hak mereka sebagai anak-anak hilang. Tidak bisa bermain, tidak sekolah seperti teman-temannya,” kata Yayat.
Menurut Konvensi Hak Anak PBB yang diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, setiap anak berhak atas:
Hak untuk hidup dan tumbuh kembang (Pasal 6)
Hak atas pendidikan (Pasal 28)
Hak atas perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi (Pasal 19 dan 32)
Hak untuk bermain dan beristirahat (Pasal 31)
Namun hak-hak ini belum menjadi kenyataan di Pelabuhan Paotere. Sistem hukum yang lemah, kemiskinan struktural, dan budaya permisif menjadi penghalang utama.
Seruan untuk Pemerintah
Menurut FASS, situasi ini harus menjadi alarm darurat bagi pemerintah daerah. Sayangnya, respons pemerintah dinilai belum menyentuh akar masalah. Koordinasi antarinstansi dan program sosial masih bersifat musiman dan tidak berkelanjutan.
“Kami sudah beberapa kali berkolaborasi dengan Pemda, komunitas, dan LSM. Tapi tidak konsisten,” kata Yayat.
FASS mengusulkan langkah-langkah nyata seperti: Beasiswa dan subsidi pendidikan, Penyediaan ruang aman anak, Pelibatan pelaku usaha di pelabuhan dalam menciptakan zona bebas pekerja anak, Pemberdayaan ekonomi keluarga miskin, dan Edukasi bagi orang tua dan masyarakat.
Eksploitasi anak di Pelabuhan Paotere bukan sekadar masalah hukum atau kemiskinan. Ini mencerminkan kegagalan kolektif — pemerintah, masyarakat, dan budaya — dalam melindungi hak anak.
“Anak-anak itu generasi bangsa. Mari kita rawat, bukan eksploitasi,” tegas Yayat.
Solusi tidak cukup dengan pelarangan bekerja. Diperlukan intervensi menyeluruh melalui pendidikan gratis dan berkualitas, jaminan sosial, serta kampanye budaya yang menempatkan anak sebagai subjek perlindungan, bukan tulang punggung ekonomi keluarga. (*)
Penulis : Mahasiswa UIN Alauddin Makassar
Fitri Ramadani, Nitrawana, Risnawati Suardi, Alfia Aisyah Azzahra, Nur Wahidah Arief, Dwi Syahrani, Karmila, dan Wanda Mahari Hakim.