English English Indonesian Indonesian
oleh

Stagnasi Kemiskinan di 10 Kabupaten di Sulsel, Program Pemerintah Belum Sentuh Akar Masalah

FAJAR, MAKASSAR– Pakar Ekonomi Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Abdul Muttalib, angkat bicara soal sepuluh kabupaten di Sulawesi Selatan tercatat masih berada dalam zona kemiskinan tinggi.

Meskipun pemerintah terus mengklaim komitmen menurunkan angka kemiskinan secara nasional Mittalib menilai Data terbaru 2024–2025 menunjukkan sebaliknya, sejumlah wilayah seperti Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Jeneponto, Luwu, dan Enrekang masih menjadi langganan peta merah kemiskinan.

Ia menilai angka kemiskinan ini bukan lagi masalah angka yang naik-turun, tapi masalah struktural yang belum terselesaikan.

Sepuluh tahun terakhir pola stagnan kemiskinan ini tleah mengindikasikan kebijakan yang berjalan belum efektif dan cenderung bersifat seragam.

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Pangkep menempati posisi teratas dengan angka kemiskinan 12,41 persen, disusul Jeneponto 11,82 persen, Luwu 11,70 persen, dan Enrekang 11,25 persen.

Beberapa kabupaten lainnya seperti Luwu Utara dan Kepulauan Selayar memang mengalami penurunan, tetapi masih berada di atas rata-rata provinsi.

Ironinya kata Abdul Muttalib justru datang dari Pangkep dan Luwu. Dua wilayah ini memiliki sumber daya alam melimpah.

Pangkep memiliki potensi besar di sektor perikanan, pertambangan marmer, hingga industri semen, sementara Luwu menyimpan aktivitas tambang oleh PT Masmindo Dwi Area, namun angka kemiskinan di dua daerah ini nyaris tak bergerak turun.

“Hal ini menunjukkan bahwa ekonomk Makro belum menetes ke bawah (trickle down effect) secara efektif,” tulis Abdul Muttalib, kepada FAJAR, Selasa, 24 Juni 2025.

Kata dia yang menikmati hasil sumber daya bukan masyarakat lokal, tapi korporasi besar dari luar daerah. Masyarakat hanya jadi buruh dengan upah rendah.

Hal yang sama terjadi di Jeneponto. Meski pemerintah setempat sudah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dan menggagas kolaborasi lintas sektor, namun belum berhasil menekan angka kemiskinan ke dua digit. Tren menurun tapi masih di atas rata-rata.

Abdul menguraikan delapan faktor penyebab stagnasi kemiskinan di daerah, yang sebagian besar bersifat struktural. Pertama terbatasnya Akses Pelayanan Dasar.

Infrastruktur seperti air bersih, sanitasi, dan fasilitas kesehatan di daerah terpencil masih belum memadai, yang secara langsung berdampak pada produktivitas penduduk.

Ketimpangan Distribusi Kekayaan Alam katw dia meski melimpah, keuntungan ekonominya lebih banyak dinikmati oleh pelaku usaha besar atau luar daerah, sementara masyarakat lokal hanya menjadi buruh dengan upah rendah.

Kemdudian infrastruktur Ekonomi yang Belum Merata yang mana jalur distribusi hasil pertanian, perikanan, dan tambang seringkali terhambat oleh kondisi jalan yang buruk dan akses pasar yang terbatas.

Fluktuasi harga komoditas dan kerentanan terhadap bencana menjadikan masyarakat di sektor pertanian dan perikanan sangat rentan terhadap guncangan ekonomi.

Kemudian banyak program sosial salah sasaran karena data terpadu yang tidak diperbarui secara berkala, serta tumpang tindih kebijakan antar-instansi.

Budaya dan pola pikir subsisten dimana di beberapa wilayah, masih kuat budaya ‘hidup cukup untuk hari ini’ dan rendahnya minat pada inovasi atau diversifikasi ekonomi.

Evaluasi program yang lemah dengan mnimnya evaluasi berkala menyebabkan banyak program hanya berjalan sebagai formalitas tanpa jaminan efektivitas.

Solusi konkret dan rekomendasi kebijakan untuk membalikkan keadaan, kata dia mrmerlukan pendekatan holistik dan terintegrasi.

“Banyak masyarakat hanya berpendidikan SD atau SMP, tanpa pelatihan vokasi yang bisa mendukung daya saing kerja. Ditambah lagi akses jalan buruk dan pasar terbatas, sehingga hasil pertanian atau perikanan sulit terserap dengan harga wajar,” katanya.

Ia juga menyoroti ketimpangan distribusi hasil kekayaan alam, ketergantungan pada sektor primer yang rentan terhadap guncangan harga dan bencana, serta kelemahan dalam pendataan dan evaluasi program.

“Sering kali bantuan sosial tidak tepat sasaran karena data tidak diperbarui. Di sisi lain, program yang ada berjalan hanya sebagai formalitas tanpa evaluasi menyeluruh,” tegasnya.

Untuk keluar dari lingkaran stagnasi ini, Abdul menilai pendekatan kebijakan harus disesuaikan dengan karakteristik masing-masing kabupaten.

Menurutnya masalah ini tidak bisa disamaratakan. Masalah di Pangkep yang kepulauan tentu berbeda dengan Bone yang berbasis agraris, atau Jeneponto yang datarannya kering.

Ia merekomendasikan pemerintah memperkuat pendidikan vokasi, membangun infrastruktur dasar hingga pelosok, mendorong hilirisasi produk sumber daya alam, serta memperkuat peran UMKM melalui akses permodalan dan digitalisasi.

Diversifikasi ekonomi juga penting, jangan hanya bergantung pada pertanian atau tambang. Sektor pariwisata dan ekonomi kreatif harus mulai digarap.

Menurut Abdul Muttalib, kenyataan bahwa sepuluh kabupaten masih bertahan dalam lingkaran kemiskinan menunjukkan bahwa program yang ada belum menjawab kebutuhan riil masyarakat.

Program jangan hanya makro dan administratif, tapi harus berbasis data yang akurat dan dievaluasi secara berkala. Tanpa perubahan pendekatan, angka kemiskinan hanya akan menjadi statistik tahunan yang tak kunjung berubah tutupnya.

“Jalan panjang menuju kesejahteraan kemiskinan di Sulsel bukan hanya masalah angka, melainkan cerminan dari tantangan struktural dan ketimpangan kebijakan pembangunan,” ujarnya.

“Untuk keluar dari lingkaran ini, dibutuhkan bukan hanya anggaran yang besar, tetapi juga komitmen nyata, keberanian mengubah pendekatan, dan pelibatan aktif masyarakat. Pemerintah daerah tidak bisa berjalan sendiri; sinergi dengan pemerintah pusat, sektor swasta, dan masyarakat sipil adalah kunci menuju perubahan,” tandasnya (an)

News Feed