FAJAR, JAKARTA – Praktik pungutan liar (pungli) di sektor angkutan barang kian merajalela. Dari Tol Cikampek hingga Pasar Kramatjati, sopir truk menjadi sasaran empuk pemalakan oknum-oknum tak bertanggung jawab. Biaya logistik pun membengkak, bahkan disebut jauh lebih mahal dari Thailand.
Wakil Ketua Pemberdayaan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, mengatakan dari hasil diskusi, para sopir truk mengungkap harus membayar pungli hingga Rp200 ribu saat melintas dari Tol Cikampek ke Kramat Jati.
Bahkan jika mereka beristirahat sejenak di bahu jalan tol, pungli lain menanti dari oknum petugas jalan. Sementara itu, komunitas sopir menyebut pungli juga dilakukan oleh oknum polisi jalan raya (PJR) dan petugas keamanan rest area.
Kondisi lebih parah di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok. Menurut pengusaha angkutan, untuk melintasi jalur menuju gudang yang dipasangi portal, sopir truk harus merogoh kocek Rp100 ribu lengkap dengan stempel RT setempat.
Rute pengiriman sayur dari Garut ke Pasar Kramatjati saja memerlukan dana ekstra hingga Rp175 ribu untuk melewati 5-6 titik pungutan liar.
“Pungli di sektor logistik ini sudah membebani 15–20 persen dari ongkos angkut. Punglinya dilakukan mulai oleh petugas berseragam hingga yang tidak berbaju,” tambah Djoko.
Pengusaha truk bahkan mengakui bahwa ongkos logistik Indonesia kini lebih tinggi dari Thailand, dan pungli menjadi salah satu penyebab utamanya.
Dalam catatan Asosiasi Pengusaha Angkutan, sebuah truk dengan ritase padat bisa menghabiskan Rp120–150 juta per tahun hanya untuk pungli. Rata-rata, pengeluaran pungli mencapai Rp10–12 juta per bulan, mulai dari proses angkut hingga bongkar muat.