English English Indonesian Indonesian
oleh

Menalar Ulang Pancasila dalam Realitas Kekinian, Ini Gagasan Alwy Rachman dan Muttaqin Azikin

FAJAR, MAKASSAR-Ma’REFAT Institute Sulawesi Selatan kembali menggelar agenda diskusi bulanan bertajuk REFORMING ke-23, pada Minggu, 29 Juni 2025. Bertempat di Kantor LINGKAR-Ma’REFAT Makassar, tema perbincangan yang diusung kali ini ialah: “Menalar Ulang Pancasila dari Perspektif Kebudayaan serta Kaitannya dengan Realitas Kekinian Bangsa Indonesia.”

Pertemuan ini menghadirkan dua narasumber utama: Budayawan dan Tokoh Literasi Sulawesi Selatan, Alwy Rachman, serta Direktur Eksekutif Ma’REFAT Institute, Mohammad Muttaqin Azikin.

Muttaqin mengajak publik untuk mengulik makna Pancasila dalam realitas kekinian. Ia memulai pemaparannya dengan menyitir pandangan Prof. Kuntowijoyo, bahwa Pancasila selama ini baru efektif sebagai ideologi yang mempersatukan Indonesia secara politis, namun belum mampu meresap ke dalam lapisan sosial, ekonomi, budaya bangsa dan yang lainnya.

“Pancasila masih dipahami sebagai mitos. Karena itu, ia tidak mampu menembus ruang hidup yang lebih konkret,” ujar Muttaqin dalam nada reflektif. Ia menyebut, proses mistifikasi terhadap Pancasila justru menjauhkan bangsa ini dari daya aktualisasi nilai-nilainya.

Menambah kedalaman analisisnya, Muttaqin mengutip pandangan Prof. Ryaas Rasyid yang menyebut Pancasila hanya akan bermakna bila nilai-nilainya tercermin dalam perilaku para penyelenggara negara dan masyarakat. “Pada generasi awal – para Pendiri dan Perintis Kemerdekaan Indonesia – nilai-nilai itu nyata dalam tindakan. Tapi hari ini, justru para elit menjadi sumber keterputusan,” lanjutnya.

Muttaqin menggambarkan situasi ini sebagai cultural lag—warisan nilai luhur tak lagi sejajar dengan perilaku aktual para pemegang kekuasaan. Ironisnya, para elit politik yang seharusnya menjadi simbol perwujudan nilai Pancasila, justru menjelma menjadi penyebab utama terlepasnya nilai dari realitas.

“Bangsa bukan sekadar negara. Bangsa itu hidup dari ingatan bersama. Ketika ingatan itu terkoyak, maka bangsa kehilangan arah,” tegasnya.

Bagi Muttaqin, Indonesia hari ini tengah mengalami semacam amnesia kolektif. Trauma sejarah, ketimpangan sosial, dan lemahnya kepemimpinan membuat ingatan kebangsaan tercerai-berai.

Mengacu pada kajian kebudayaan yang dirilis pada 2013, Alwy Rachman membuka paparannya dengan menyatakan bahwa kebudayaan adalah satu kesatuan utuh yang terdiri dari lima komponen besar: budaya dunia, budaya kesukuan, budaya tempatan, budaya kebangsaan, dan budaya keagamaan. Dalam kerangka ini, agama tidak berdiri sendiri, tetapi melebur dalam jejaring nilai dan praktik sosial.

“Kebudayaan bisa dikenali lewat praktik tradisional maupun modern. Dari cara masyarakat belajar, sistem pendidikan, hingga pola ekonomi,” ujar Alwy Rachman.

Tak hanya itu, Alwy Rachman juga menyoroti keretakan dalam sistem sosial hari ini. Ia menyebut istilah “Tisu sosial” (Jejaring Sosial) yang digagas oleh Emile Durkheim sebagai bahan refleksi bagi fondasi bangsa. Namun kini, narasi besar yang menyatukan warga bangsa telah tergantikan oleh serbuan data acak. “Informasi menggantikan narasi. Dialog bergeser menjadi debat yang diabolik. Saling bantah tanpa membangun,” katanya tajam.

Dislokasi budaya pun terjadi. Banyak masyarakat hari ini tercerabut dari konteks kebudayaannya sendiri. Mereka hidup di ruang asing yang tak lagi memberi makna. Restorasi sosial, yang seharusnya mengembalikan manusia pada akar budayanya, justru direduksi menjadi gimmick politik.

Alwy Rachman mengingatkan, bangsa Indonesia tumbuh dari kekuatan migrasi berbagai suku dan komunitas. Namun, proyek-proyek kebudayaan hari ini kerap gagal membentuk kesadaran kolektif karena terlalu sibuk pada simbol, bukan substansi.

“Kita perlu membangun nasionalisme dari bawah: dari ruang keluarga, ruang komunitas, hingga ruang budaya,” tegasnya.

Menutup paparannya, Alwy Rachman menyodorkan tantangan utama hari ini: merawat jejaring sosial di tengah gempuran kapitalisme, politik identitas, dan budaya digital yang mereduksi nilai. “Kita butuh nasionalisme baru. Yang dibangun bukan di atas dominasi, melainkan pada dialog, solidaritas, dan keberagaman,” katanya.

Pada sesi tanggapan, salah seorang peserta, menyoroti minimnya pemahaman Pancasila di kalangan anak muda. “Pancasila banyak dipahami dalam ruang-ruang politik. Hari ini anak-anak muda sangat kurang pemahaman tentang Pancasila, bahkan ada yang tidak memahami butir-butir yang ada pada Pancasila,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa narasi kebangsaan saat ini nyatanya banyak dijadikan slogan oleh partai-partai politik, dan perbincangan tentang nilai-nilai kepancasilaan di lingkungan kampus pun sangat jarang ditemui.

Menanggapi hal tersebut, Muttaqin memberikan pandangan. Menurutnya, yang kita butuhkan hari ini adalah penggalian makna filosofis dari dasar negara kita, khususnya Pancasila. Sayangnya, itu tidak terjadi. Wacana-wacana besar yang bersifat paradigmatik kini hampir tidak terdengar. “Yang kita jumpai justru perbincangan praktis tanpa pondasi filosofis yang kuat. Padahal dalam tradisi filsafat Islam, misalnya, kita mengenal hikmah nazariyah (ilmu-ilmu teoritis) dan hikmah amaliyah (ilmu-ilmu praktis), yang semestinya hadir dalam membangun worldview (pandangan dunia) dan ideologi bangsa,” Ujar Muttaqin.

Menutup sesi, Alwy Rachman meberikan refleksi, “Apakah Pancasila saat ini benar-benar dipahami dan disepakati bersama? Jika tidak, maka ia akan membuat terpecah-pecah dan tidak bekerja sebagai kerangka pemersatu bangsa.” Alwy Rachman menyebutkan, Pancasila seharusnya menjadi kerangka nilai yang hidup. “Pancasila harus diuji dalam praktik, dan harus mampu memperjuangkan kepentingan bersama secara etis dan substansial,” pungkas Alwy Rachman.

Diskusi berlangsung hangat dan reflektif, dengan dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan, baik mahasiswa, dosen, aktivitis lingkungan, dan juga pelaku usaha serta karyawan swasta. Berjalan selama kurang lebih tiga jam, pertemuan diakhiri melampaui waktu biasanya pada pukul 16.00 sore. (*/)

News Feed