English English Indonesian Indonesian
oleh

Kelas Pendidik: Ruang Bertumbuh dan Menghidupkan Makna

(Inspirasi kegiataan Ruang Temu Pendidik Nusantara XII)

Oleh: Riska Nilmalasari NDA

“Muridku bukan tak bisa, ia hanya belum percaya.”

Kalimat ini menggema dalam ruang hati para pendidik yang hadir dalam kegiatan Temu Pendidik Nusantara. Bukan sekadar slogan, tetapi sebuah pengingat mendalam bahwa setiap peserta didik menyimpan potensi yang belum tentu bisa langsung tampak. Tugas kita, sebagai guru, bukan hanya mengajar, tetapi meyakinkan mereka bahwa mereka mampu.

Di ruang kelas yang sesungguhnya, sering kali kita terpaku pada nilai, ujian, dan capaian akademik. Padahal, pembelajaran yang sejati bukan sekadar transfer ilmu. Ia adalah perjalanan. Dan dalam perjalanan itu, kepercayaan adalah bahan bakar utamanya. Saat peserta didik belum menunjukkan kemampuannya, bukan berarti mereka tidak mampu. Bisa jadi, mereka hanya sedang mencari pijakan untuk percaya pada dirinya sendiri. Di sinilah peran guru: menjadi cermin yang menunjukkan bahwa mereka layak, bisa, dan berharga.

Guru yang menghargai bukan menghakimi

Guru yang bijak tidak tergesa menyimpulkan. Ia tidak serta-merta menilai anak dari satu kegagalan atau satu kelemahan. Guru yang menghargai adalah mereka yang melihat manusia utuh dalam diri murid: dengan segala emosi, mimpi, kekurangan, dan potensinya.
Dalam Temu Pendidik Nusantara, satu nilai yang terus ditekankan adalah penghargaan. Bukan hanya kepada sesama rekan sejawat, tetapi juga kepada murid. Murid bukan objek pasif. Mereka adalah subjek pembelajar yang berhak dihargai pendapatnya, ide-idenya, bahkan kesalahannya. Dengan penghargaan, tumbuhlah kepercayaan. Dan dari kepercayaan, muncullah semangat belajar yang sejati.

Menghargai murid bukan berarti membiarkan segala hal. Bukan berarti tidak menegur saat salah. Tetapi bagaimana teguran itu disampaikan—dengan cinta, dengan niat menumbuhkan, bukan menjatuhkan—itulah yang membedakan antara guru biasa dengan guru pembelajar.

Program yang bermakna, bukan sekadar sibuk

Kerap kali, kita terjebak dalam rutinitas. Membuat program demi laporan, menyusun kegiatan hanya demi terlihat aktif. Padahal, aktivitas bukan jaminan makna. Temu Pendidik Nusantara mengingatkan bahwa program yang baik bukan yang paling heboh, tapi yang paling bermakna. Program yang mampu mengubah cara pandang peserta didik, membentuk karakter, dan memberi ruang aktualisasi.

Program bermakna adalah yang dekat dengan kehidupan murid. Yang menantang mereka berpikir, bukan sekadar menghafal. Yang memberi dampak jangka panjang, bukan sekadar nilai di rapor. Misalnya, proyek berbasis lingkungan yang mengajak mereka menanam, merawat, dan mempresentasikan hasilnya. Atau literasi yang tidak hanya soal membaca buku, tapi berdiskusi, menulis refleksi, dan membagikan ide. Inilah bentuk program yang menghidupkan pembelajaran.

Menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan

Belajar tak harus membosankan. Bahkan, belajar semestinya menjadi kegiatan yang dinanti. Ketika guru berani mengeksplorasi metode, membawa cerita, permainan, atau aktivitas reflektif, kelas menjadi ruang yang hidup.

Temu Pendidik Nusantara menyuarakan pentingnya joyful learning—belajar yang membuat hati senang dan pikiran terbuka. Karena anak-anak yang bahagia akan lebih mudah menyerap pengetahuan. Dalam suasana yang positif, proses belajar bukan lagi kewajiban, tapi kebutuhan.
Namun tentu, menyenangkan bukan berarti tanpa arah. Proses pembelajaran yang menyenangkan tetaplah memiliki tujuan. Justru karena anak merasa nyaman dan terlibat, maka tujuan belajar akan lebih mudah tercapai.

Menjadi pengingat ibadah di tengah rutinitas

Di antara deretan target kurikulum dan tugas administrasi, ada satu tugas ruhani yang tidak boleh dilupakan: menjadi pengingat ibadah. Kita bukan hanya mendidik akal, tetapi juga hati.
Guru adalah teladan. Dan menjadi teladan bukan berarti sempurna. Tapi ia bersedia mengingatkan muridnya untuk salat, untuk bersyukur, untuk bersikap jujur, meskipun hal itu tampak sederhana. Di sinilah nilai pendidikan yang sebenarnya—menyentuh sisi spiritual yang kerap terabaikan dalam pendidikan formal.

Mengajak murid untuk taat bukan dengan marah atau memaksa. Tetapi dengan konsistensi dan kelembutan. Seorang guru yang sabar menunggu muridnya menuntaskan wudhu, yang rela menunda pelajaran demi shalat berjamaah, itu lebih mengesankan daripada seribu kata nasihat.

Hanya guru pembelajar yang bisa mengajar

Kalimat ini adalah cermin bagi kita semua. “Hanya guru yang terus belajar, yang bisa benar-benar mengajar.” Temu Pendidik Nusantara menegaskan bahwa guru bukan puncak dari pengetahuan, melainkan bagian dari proses belajar itu sendiri.
Di dunia yang terus berubah, metode belajar, karakter generasi, dan tantangan pendidikan juga berubah. Maka guru yang berhenti belajar akan tertinggal, dan kelasnya akan kehilangan ruh.

Belajar bagi guru bukan hanya ikut pelatihan. Tetapi membaca, berdiskusi, merefleksi, mencoba hal baru, gagal, dan mencoba lagi. Guru yang belajar akan tahu bagaimana rasanya jadi murid. Ia tidak akan cepat menghakimi, karena ia tahu proses belajar tidak selalu mudah.
Belajar juga berarti mengakui bahwa kita tidak tahu segalanya. Dan itu bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Karena dari kerendahan hati itu, tumbuhlah koneksi yang lebih jujur antara guru dan peserta didik.

Kelas pendidik adalah cermin jiwa

Kelas bukan hanya ruangan berisi kursi dan papan tulis. Kelas adalah ruang jiwa. Di sana, ada semangat, ada interaksi, ada perjalanan panjang menuju tumbuh dan dewasa.

Temu Pendidik Nusantara mengajak kita kembali merenungi peran guru dalam cahaya yang lebih luas. Bukan sekadar pengajar, tapi pembelajar. Bukan sekadar pendidik, tapi pemantik. Bukan sekadar pengatur, tapi penggerak.

Maka jadikan kelas kita sebagai ruang yang hidup:

Tempat di mana murid percaya bahwa ia bisa.

Tempat di mana penghargaan lebih kuat dari hukuman.

Tempat di mana program bukan sekadar agenda, tapi sumber makna.

Tempat di mana belajar menjadi bahagia.

Tempat yang senantiasa mengingatkan kepada Sang Pencipta.

Dan tempat di mana guru tidak pernah berhenti belajar.

Karena pada akhirnya, perubahan pendidikan tidak akan datang dari kebijakan semata. Tapi dari satu guru, yang dengan sadar, sepenuh hati membangun kelasnya menjadi ruang yang menghidupkan. (*)

News Feed