Oleh: TAJUDDIN NOER*
Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menarik perhatian publik internasional dengan dua klaim besar yang mengejutkan.
Pertama, ia mengumumkan kesepakatan gencatan senjata antara Iran dan Israel setelah 12 hari “perang” yang nyaris menghancurkan Timur Tengah. Kedua, ia disebut mencabut sanksi ekonomi terbesar terhadap Iran sejak 2016.
Dua pernyataan ini, jika dianalisis lebih dalam, justru mencerminkan kecenderungan lama dari Trump: membangun panggung politik personal melalui diplomasi ilusi. Ia tidak hanya mengaburkan fakta geopolitik yang kompleks, tetapi juga berpotensi menyesatkan opini publik global mengenai dinamika Timur Tengah.
Gencatan Senjata Sepihak dan Politik Imajinasi
Pernyataan tentang “gencatan senjata total” antara Iran dan Israel tampak problematis, baik secara logika maupun diplomasi. Iran dan Israel adalah dua negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik, bahkan berada dalam permusuhan ideologis dan strategis selama lebih dari empat dekade.
Iran menolak eksistensi Israel sebagai entitas sah, dan Israel menjadikan Iran sebagai musuh utama di kawasan.
Dalam sejarah konflik kawasan, belum pernah terjadi gencatan senjata langsung antara keduanya. Ketegangan militer yang terjadi selama ini lebih banyak berupa serangan terbatas atau konflik proksi melalui kelompok perlawanan seperti Hizbullah, Hamas, atau milisi Irak.
Tidak ada pernyataan resmi dari kedua negara mengenai perang formal, apalagi perdamaian formal.Oleh karena itu, ketika Trump menyatakan perang telah berakhir dan dunia akan merayakan kedamaian, pernyataan ini lebih menyerupai narasi politis tanpa basis aktual. Hal ini menunjukkan kecenderungan lama dari Trump: menciptakan panggung dramatis yang hanya ada dalam retorikanya sendiri.
Pencabutan Sanksi yang Tak Pernah Terjadi
Klaim kedua terkait pencabutan sanksi besar terhadap Iran juga mengandung kontradiksi besar. Trump justru dikenal sebagai presiden yang memberlakukan kebijakan “tekanan maksimum” (maximum pressure) terhadap Iran, terutama setelah menarik Amerika Serikat dari kesepakatan nuklir JCPOA pada 2018.
Di bawah pemerintahannya, sanksi diberlakukan hampir ke seluruh sektor ekonomi Iran—dari minyak, perbankan, hingga sektor medis.Tidak ada arsip kebijakan yang mendukung pernyataan bahwa ia pernah mencabut sanksi terbesar terhadap Iran. Tidak ada pengumuman resmi dari Departemen Keuangan AS atau Kantor Pengawasan Aset Asing (OFAC).
Bahkan hingga akhir masa kekuasaannya, Trump terus menambah daftar hitam terhadap individu dan lembaga Iran.
Dengan demikian, klaim pencabutan sanksi tersebut bertolak belakang dengan rekam jejak faktual dan hanya memperkuat bahwa Trump kerap menyampaikan pernyataan tanpa verifikasi—lebih sebagai strategi pencitraan daripada kenyataan kebijakan luar negeri.
Diplomasi Kosmetik dan Perang Persepsi
Kedua klaim tersebut dapat dilihat sebagai bagian dari strategi perang persepsi. Trump berusaha menampilkan dirinya sebagai tokoh perdamaian, padahal kenyataannya, selama menjabat ia justru memperparah krisis di kawasan: dari konflik di Suriah, pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel, hingga pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani di Irak.
Narasi damai yang ia bangun bukanlah hasil dari perundingan nyata, tetapi lebih menyerupai spin media—pengemasan isu agar terlihat monumental padahal substansinya lemah. Ini berbahaya, karena menciptakan ilusi bahwa konflik telah reda, padahal penindasan dan kekerasan masih terjadi di lapangan.
Lebih dari itu, ini memberi keuntungan strategis bagi pihak-pihak tertentu—terutama blok pro-Zionis—untuk mengaburkan pelanggaran HAM dan agresi militer yang terus berlangsung, khususnya terhadap rakyat Palestina dan poros perlawanan lainnya.
Pentingnya Rasionalitas Publik dalam Era Disinformasi
Di tengah derasnya arus informasi digital, publik perlu mengedepankan akal sehat dan nalar kritis terhadap klaim-klaim seperti ini. Retorika damai yang tidak berbasis pada keadilan dan fakta justru bisa menjadi alat penyesatan massal.
Ketika publik dunia diyakinkan bahwa perang telah usai, maka sorotan terhadap akar konflik—yakni pendudukan, blokade, dan ketidakadilan sistemik—akan pudar.Itulah sebabnya penting untuk membongkar dan mengkritisi narasi seperti yang disampaikan Trump.
Perdamaian tidak bisa dibangun melalui deklarasi sepihak, apalagi jika tujuannya hanya untuk pencitraan. Damai sejati harus bertumpu pada pengakuan atas hak-hak bangsa yang tertindas, penghentian agresi, dan keberanian menghadapi akar ketidakadilan.Tanpa itu semua, yang lahir bukanlah perdamaian, tetapi hanya kosmetik diplomasi yang menutupi luka yang masih terbuka.
Trump kembali hadir sebagai pencipta ilusi dalam panggung geopolitik global. Namun kali ini, ilusi itu terlalu jauh dari kenyataan untuk dipercaya. Deklarasi sepihak tentang gencatan senjata dan pencabutan sanksi bukan hanya tidak berdasar, tetapi juga berbahaya jika dibiarkan membentuk persepsi publik.
Dunia tidak membutuhkan deklarasi perdamaian palsu. Dunia membutuhkan keadilan, pengakuan atas hak bangsa Palestina dan poros perlawanan, serta keberanian untuk menyebut penjajahan sebagai penjajahan. (*)
*Penulis merupakan Ketua Umum HMI (MPO) Cabang Makassar 1994-1995SumberDeep Research