Beliau tahu bagaimana berbicara agar bisa dipahami. Tidak memaksakan gaya, tidak memaksa orang setuju. Akan tetapi, justru karena itu orang merasa nyaman. Banyak yang datang ke majelis Beliau bukan karena ingin mencari sensasi atau gaya bicara yang menghibur, tapi karena merasa butuh arahan. Dalam suasana yang sederhana itu, orang menemukan tuntunan.
Yang juga penting, Anregurutta Malik tidak menjauh dari urusan sosial dan politik. Beliau pernah menjadi anggota DPRD Wajo dari partai PPP. Di masa-masa sensitif, beliau sering menjadi penengah. Tidak menghakimi, tetapi memberi pandangan yang menenangkan. Ia menjaga jarak, tetapi tidak melepaskan diri. Ia terlibat, tetapi tahu batas.
Kini, setelah Beliau tiada, yang tertinggal bukan hanya nama. Akan tetapi cara Beliau membuat banyak orang merasa teduh. Tidak semua tokoh punya pengaruh seperti itu—pengaruh yang datang bukan karena kekuasaan, tetapi karena sikap.
Haul ini bukan sekadar acara tahunan. Bagi saya, ini adalah kesempatan untuk kembali mendekat pada nilai-nilai yang dahulu Beliau jalani. Keteladanan, jika tidak dijaga, bisa mudah hilang. Akan tetapi selama kita masih mengingat—dalam cerita, dalam sikap, dalam cara bersikap tenang di tengah keramaian—warisan beliau tidak benar-benar pergi.
Barangkali itu yang paling penting hari ini: tidak hanya mengenang Anregurutta Malik, tetapi bertanya pada diri sendiri. Apa yang masih bisa kita teruskan dari warisan Beliau? Islam moderat dan bersahaja. (*)