English English Indonesian Indonesian
oleh

Ketika Kesabaran Menjadi Gunung yang Retak: Memahami Sikap Iran

Oleh: TAJUDDIN NOER*

“Kesabaran bukan berarti diam dalam penderitaan, tapi adalah nyala api di balik kulit, menyimpan bara yang suatu saat meletup, karena cinta juga tahu kapan harus bertempur,” demikian Rumi berujar, seolah merangkum sikap sebuah bangsa yang telah lama bergelut dengan cobaan.

Setiap bangsa memiliki ambang batasnya, layaknya bumi yang menyimpan gempa dalam sunyi. Begitu pula Iran, sebuah bangsa tua yang telah menanggung luka sejarah dan intrik geopolitik dunia.Sejak Revolusi Islam 1979, negeri para arif ini memilih jalan sunyi: melawan bukan demi ambisi, melainkan demi kehormatan.

Bukan untuk meluluhlantakkan, tetapi menjaga agar yang rapuh tidak ditelan penjajahan. Namun, dunia telah menyaksikan berulang kali bagaimana kesabaran bisa berubah menjadi gunung yang retak.Setiap bombardir Israel ke Gaza, setiap peluru yang menghantam anak-anak Palestina, setiap dusta yang dibungkus koalisi Barat, adalah paku-paku kecil yang ditanam dalam dada Republik Islam Iran.

Mereka menunggu. Mereka mencatat. Mereka mengenang dalam sunyi yang filosofis.Namun, garis merah bukanlah dongeng. Ada batas yang jika dilanggar, tak bisa ditarik kembali. Dan malam itu—saat konsulat diplomatik Iran di Damaskus dibom hingga hancur, menewaskan para syuhada senior dalam serpihan bangunan suci—bukan sekadar serangan biasa.

Itu adalah pesan tentang peradaban yang ingin dihancurkan. Maka, jawaban Iran bukan sekadar balasan militer, melainkan sebuah deklarasi eksistensial: “Kami hidup karena kebenaran, dan akan mati karena itu pula.”

News Feed