Rumi menulis dengan agung: “Syahid bukanlah yang mati karena pedang, tapi dia yang hidup dalam cahaya dan mati demi cahaya. Setiap darahnya menulis ayat baru di langit, tentang makna keberanian dan janji ketuhanan.”
Iran bukan negara biasa. Ia adalah peradaban yang mengendap dalam hikmah, lahir dari sumur-sumur marja’, asyura, dan filsafat Mulla Sadra. Maka, ketika mereka menempuh jalan perang, bukan karena gila kuasa, melainkan karena logika irfani: bahwa membela yang tertindas adalah puncak ibadah dan syahadah adalah jalan kembali paling indah ke haribaan Tuhan.
Garis merah bukan lagi istilah diplomatik. Ia telah menjadi relung batin. Saat seorang jenderal syahid, saat rakyat Palestina dijadikan eksperimen genosida, saat tanah-tanah suci diinjak dengan sepatu kesombongan Zionis, maka yang bangkit dari bumi bukan hanya kemarahan, tetapi keberanian yang telah didoakan selama berabad-abad oleh para wali yang tersembunyi.
Iran tahu, melawan Israel adalah seperti melawan penjaga gerbang neraka yang didukung teknologi dan modal global. Tapi keyakinan mereka tak bersandar pada misil semata. Ia bersandar pada ruh yang telah diuji: bahwa kemenangan sejati bukan terletak pada jatuhnya Tel Aviv, tapi ketika umat manusia tersadar, siapa yang berdiri untuk keadilan, dan siapa yang menjual nyawanya demi kekuasaan.
Iran bukan bangsa sempurna. Tapi dalam zaman di mana mayoritas memilih tunduk kepada hegemoni, mereka justru berdiri. Dalam dunia yang mencintai ketakutan, mereka menawarkan keberanian. Dan di tengah keraguan umat, mereka menjadi saksi bahwa garis merah itu telah dilanggar, dan kini saatnya peradaban membalas bukan dengan dendam, tapi dengan keadilan yang tak bisa lagi ditunda.