Perang Bukan Hasrat, tapi Tanggung Jawab Spiritual
Rumi pernah mengatakan, “Pergilah, dan berperanglah demi sang kekasih, bukan karena benci, tapi karena cinta yang dicemari. Setiap luka di jalan ini adalah mawar, yang tumbuh dari darah para pecinta kebenaran.”
Dalam falsafah Iran, perang bukan untuk merebut dunia, melainkan untuk menjaga langit agar tetap berada di atas kepala manusia. Ini bukan klaim retoris. Ini adalah warisan yang mereka pegang teguh dari tragedi Husain di Karbala.
Perang, bagi mereka, bukanlah tentang kemenangan instan, tetapi kesediaan untuk berdiri di jalan yang mungkin sunyi, namun benar. Di sinilah perang menjadi ibadah. Menjadi refleksi atas tanggung jawab spiritual sebuah bangsa terhadap keadilan semesta.Israel telah menodai tempat suci, membantai rakyat tertindas, dan menghina diplomasi internasional.
Dunia diam, seolah kejahatan telah menjadi norma. Maka, siapa pun yang masih menyuarakan perlawanan, seperti Iran, akan tampak seperti ancaman. Padahal justru dalam diamnya dunia itulah suara Iran menjadi gema nurani: “Kami tidak ingin perang, tapi kami tidak akan membiarkan penindasan menjadi abadi.”
Ketika drone-drone dan rudal Iran melintasi langit Zionis, dunia terbelalak. Tapi itu bukan hanya pemandangan teknologis—itu adalah tafsir militer atas ayat yang selama ini dipendam: bahwa setiap luka punya mulutnya sendiri untuk bersuara. Dan suara itu, kini meledak dari langit, karena diplomasi telah dibungkam dengan darah.
Iran dan Falsafah Kesyahidan: Jalan Sunyi Peradaban yang Merdeka