Oleh: Debi Tenri Bali, S.Pd, Guru Bahasa Indonesia di SMPN 4 Makassar
Saat ini, kita disuguhkan dengan berbagai fenomena finansial yang merefleksikan semangat zaman. Mulai dari berseliwerannya draft spreadsheet catatan keuangan ala Kaluna dalam film “Home Sweet Loan”, meningkatnya penggunaan uang digital di berbagai aplikasi, hingga semakin banyaknya pilihan investasi digital. Fenomena ini menjadi cerminan masyarakat yang mulai melek ekonomi dan adaptif terhadap perubahan, khususnya dalam sistem digitalisasi keuangan.
Namun, pertanyaannya: apakah masyarakat kita benar-benar melek ekonomi atau hanya sekadar FOMO (fear of missing out)? Melek ekonomi sejatinya berkaitan erat dengan literasi ekonomi. Literasi ini dapat dikenali melalui pemahaman terhadap produk keuangan, pengelolaan keuangan yang baik, serta kecermatan dalam berinvestasi.
Hasil Survei Literasi dan Inklusi Keuangan oleh OJK tahun 2023 menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan nasional berada pada angka 65,43%. Di balik angka ini, terdapat kesenjangan nyata antara masyarakat perkotaan dan pedesaan. Masih banyak masyarakat yang tertipu investasi ilegal, terjebak dalam money game berkedok bisnis, atau menggunakan layanan pinjaman online ilegal. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak tantangan dalam meningkatkan literasi ekonomi secara merata.
Sulawesi Selatan sebagai provinsi dengan wilayah yang mencakup perkotaan dan pedesaan, serta masyarakat yang memiliki ragam profesi seperti petani, nelayan, dan pelaku UMKM, menghadapi tantangan serupa. Akses informasi yang terbatas, khususnya di pedesaan, membuat masyarakat lebih rentan terhadap penipuan dan kerugian finansial.