Oleh: Muhammad Yafiq Ramadhan
Mahasiswa Sastra Indonesia Unhas
Pak Sarwan menjaga hutan di desanya seorang diri. Tanpa bayaran, tanpa sorotan. Ia hanya ingin hutan tetap hidup, meski nyawanya jadi taruhan.
Setiap pagi, pukul lima, Pak Sarwan (54) memanggul parang dan sebotol air. Ia berjalan kaki menembus kabut pagi, masuk ke dalam hutan di sisi timur Desa Lembang Bune, Sulawesi Selatan. “Saya bukan perambah. Saya penjaga,” katanya pelan, menepis stigma orang yang tak mengenalnya.
Sudah lebih dari sepuluh tahun ia menjaga hutan seluas 40 hektare lebih itu. Bukan karena disuruh atau digaji siapa pun. “Hutan ini warisan dari leluhur. Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi?” lanjutnya sambil mengikat tali sepatu bot tuanya.
Bagi Pak Sarwan, hutan bukan sekadar deretan pohon. Itu sumber air untuk sawah, pelindung dari banjir, dan ruang hidup bagi banyak makhluk yang tak bersuara. Dulu, ia sempat bekerja sebagai buruh bangunan di kota. Tapi setelah orang tuanya meninggal dan desa kerap dilanda longsor, ia memutuskan pulang kampung. “Dulu air sungai jernih. Sekarang sering keruh. Itu tanda hutannya rusak,” ujarnya.
Berbekal niat
Kegiatan menjaga hutan ini dilakukan Pak Sarwan hampir setiap hari. Ia memeriksa pohon-pohon yang rawan ditebang, menyingkirkan jerat liar, dan sesekali menegur orang asing yang masuk tanpa izin. Ia tahu itu berbahaya. “Pernah saya dikejar dua orang yang bawa gergaji mesin. Tapi saya nekat saja, bilang kalau saya lapor ke desa,” kenangnya.
Ia tidak membawa senjata, hanya semangat dan sedikit keberanian. Rumahnya yang sederhana penuh dengan foto-foto hutan di masa lalu. “Saya motret pakai HP jadul, buat kenangan. Nanti kalau anak cucu tanya, saya bisa tunjukkan: dulu masih hijau,” katanya sambil tersenyum kecil.
Namun, perjuangannya nyaris tak terdengar. Tak ada penghargaan, bahkan pemerintah desa pun awalnya tak tahu apa yang ia lakukan. Hingga suatu hari, ia diundang ke kantor desa karena ada laporan “orang mencurigakan mondar-mandir di hutan.”
Kepala Desa Lembang Bune, Hadi Susanto, membenarkan hal itu. “Awalnya kami kira Pak Sarwan ini mau nebang ilegal. Tapi setelah kami turun langsung, ternyata dia malah menjaga. Kami malu sendiri,” ujarnya saat diwawancarai.
Sejak saat itu, pihak desa mulai memperhatikan. “Kami kasih rompi dan peluit, walau belum bisa bantu banyak. Beliau itu contoh nyata warga yang peduli lingkungan,” tambah Pak Hadi. Namun hingga kini, belum ada dukungan dana khusus dari pemerintah kabupaten.
Pak Sarwan mengaku tidak mengharapkan bantuan materi. Tapi dia berharap, ada generasi muda yang ikut peduli. “Kalau saya sudah tua, siapa yang lanjut?” katanya lirih.
Kadang ia mengajak anak-anak tetangga masuk hutan, mengenalkan nama pohon, suara burung, dan jejak-jejak hewan. “Biar cinta sejak kecil,” katanya.
Meski banyak yang menganggapnya gila, Pak Sarwan tetap melanjutkan aktivitasnya. Bahkan saat musim hujan datang dan jalanan licin, ia tetap berjalan. “Kalau hari ini saya tidak datang, bisa jadi besok pohon itu ditebang,” ujarnya.
Menurut data dari komunitas lokal Hijau Lestari, kawasan hutan di sekitar Lembang Bune menyusut 12 persen dalam 7 tahun terakhir, sebagian besar akibat penebangan liar dan alih fungsi lahan. “Peran warga seperti Pak Sarwan itu kunci. Tapi mereka jarang dilibatkan dalam kebijakan,” kata Siti Nuraini, aktivis lingkungan yang sempat turun ke Lembang Bune.
Kini, meski usianya tak lagi muda, Pak Sarwan masih berjalan ke hutan tiga sampai empat kali seminggu. Ia sadar tenaganya terbatas. “Saya cuma orang kecil. Tapi saya percaya, kalau kita jaga alam, alam juga jaga kita,” katanya.
Di depan rumahnya, Pak Sarwan menanam dua bibit pohon trembesi. Ia beri nama masing-masing: “Harapan” dan “Doa”. Ia berharap, suatu hari nanti, hutan yang ia jaga tak hanya hidup, tapi juga dihormati. “Saya tidak butuh plakat atau piagam. Cukup lihat pohon tetap berdiri, saya bahagia.” (*/)