Oleh: Ardiansyah Badaruddin
Mahasiswa Sastra Indonesia Unhas
Saya memetik kecaping pelan-pelan, menguji resonansi nada di pangkal bambu yang sudah mulai rapuh. Di hadapan saya, empat perempuan penari sudah berdiri dalam formasi sabuk bulan, memegang daun beringin dan sehelai kain tenun. Di belakang kami, pohon-pohon pinus memayungi langit yang masih gelap. Tak ada panggung. Tak ada batas antara penonton dan semesta. Hanya ada bunyi, tubuh, dan hutan.
Pagi itu, saya berdiri sebagai pengiring musik di Festival Hutan Toraja, Sabtu, 14 Juni 2025, sebuah perayaan hidup yang berlangsung di tengah kawasan Lembang Kole Sawangan, Toraja Utara. Festival ini mengangkat kesadaran ekologi masyarakat adat dan seni pertunjukan sebagai bentuk pemulihan relasi manusia dengan alam. Bagi saya, bermain musik di tempat ini bukan hanya soal irama—tapi tentang ingatan dan tubuh yang menyatu dengan hutan.
Saya tiba sehari sebelum pembukaan. Bersama para penari penyambut, saya berlatih di sebuah lumbung tua. Musik yang kami mainkan tidak berasal dari partitur, tapi dari dengungan yang diturunkan lisan: dari ibu ke anak, dari bunyi hujan ke daun, dari dahan yang patah ke tanah. Saya memainkan kecaping, sementara seorang penabuh gendang tua dari Baruppu, Yohanis Limbong (49), memandu ketukan dasar. “Musik untuk hutan bukan hanya untuk didengar. Tapi untuk mengingatkan kita, bahwa kita pernah berasal dari sini,” katanya, sambil memoles kayu alat musiknya dengan minyak kelapa.
Keesokan harinya, suasana berubah. Pengunjung mulai berdatangan. Mereka bukan hanya wisatawan, tapi juga komunitas pemuda adat, pegiat seni, bahkan kelompok ibu-ibu dari dusun tetangga yang membawa nasi bambu dan kopi Toraja. Tak ada petugas keamanan atau pagar pembatas. Semua yang hadir tahu bahwa mereka bukan datang ke pertunjukan—mereka datang ke ruang sakral.
Upacara pembukaan dimulai dengan tarian penyambut. Saya duduk bersila, kecaping di pangkuan, dan jari-jari saya memetik nada rendah untuk memulai. Di hadapan saya, Indo’ Marianna (61), seorang penari adat yang juga pelatih komunitas tari di Kole Sawangan, membuka langkah dengan gerakan tangan memeluk udara. Ia membungkuk, menyentuh tanah, dan mengangkat sehelai daun beringin ke langit. “Ini bukan hanya tarian sambutan,” ucapnya kepada saya sebelum tampil. “Ini cara kami meminta izin pada leluhur untuk menggunakan tanah mereka hari ini.”
Selama tiga hari festival berlangsung, saya menyaksikan pertunjukan demi pertunjukan yang menyatu dengan tanah dan langit. Ada pementasan teater hutan oleh pemuda-pemudi dari Barana yang mengisahkan perjuangan menolak ekspansi tambang. Ada juga pemutaran film dokumenter tentang ritual pemakaman ramah lingkungan di daerah pegunungan. Musik mengisi ruang antara pertunjukan. Kadang saya hanya memetik dua nada, kadang kami bermain dalam irama penuh bersama alat pukul dan seruling bambu. Semua bunyi itu mengalir, tidak menguasai, tidak memerintah. Musik kami seperti aliran air kecil yang menyelusup di antara akar dan batu.
Apa yang membuat festival ini berbeda dari panggung seni lainnya adalah relasi yang hidup antara penonton, penampil, dan alam. Saat malam tiba dan kabut mulai turun, tak ada sorotan lampu warna-warni. Hanya api unggun dan suara jangkrik yang menemani. Penonton duduk di atas akar atau batu. Beberapa anak-anak tertidur di pangkuan ibu mereka saat kami memainkan musik penutup.
Pada malam terakhir, kami menggelar ritual penanaman pohon. Semua yang terlibat—penampil, panitia, dan pengunjung—diberi satu bibit kecil dan satu doa. Saya menanam pohon aren kecil, sementara Indo’ Marianna menanam pohon kayu manis. “Kalau pohon ini besar, kamu harus datang kembali melihatnya,” katanya, lalu tertawa pelan. Saya hanya tersenyum, karena tahu dalam hati bahwa saya akan benar-benar kembali.
Bagi masyarakat Toraja, hutan bukan hanya ruang ekologis. Ia adalah rumah leluhur, tempat roh tinggal, dan tubuh manusia berpulang. Festival ini bukan sekadar bentuk ekspresi seni, tapi bentuk pemulihan—pemulihan relasi yang selama ini renggang karena eksploitasi lahan, pertambangan, dan kerusakan ekosistem.
Yohanis bercerita bahwa desa-desa di kawasan Lembang Kole Sawangan dulu nyaris kehilangan sebagian besar hutan karena pembukaan jalan dan kayu log. “Dulu kami terlena, sampai air tidak mengalir seperti dulu, tanah mulai retak, dan binatang mulai turun ke dusun karena kehilangan rumah. Maka kami adakan festival ini. Biar kita ingat lagi bahwa hutan bukan milik kita, tapi kita yang milik hutan.”
Menjelang pulang, saya duduk sendiri di pinggir kebun kopi. Di pangkuan saya, kecaping sudah diam. Tapi dalam kepala saya, musiknya masih terdengar. Saya ingat langkah-langkah tarian Marianna, sorot mata anak-anak, aroma pinus saat kabut turun, dan bunyi gendang Yohanis yang menyatu dengan detak jantung saya.
Festival ini telah berakhir. Tapi bagi saya, ia bukan titik selesai. Ia adalah seruan: untuk menjaga, untuk merawat, dan untuk terus pulang ke hutan. Karena di sinilah kita mulai. Dan di sinilah, bunyi-bunyi akan selalu kembali. (*)