Jendela Langit : M. Qasim Mathar
Waktu menunjukkan pukul 12 kurang sepuluh menit, Jumat, 20 Juni 2025, saat kami memarkir kendaraan di halaman masjid di bandara (bandar udara) Sultan Hasanuddin Makassar. Karena dari rumah kami ke bandara memerlukan waktu tempuh sekitar satu jam, kami sudah berniat untuk salat Jumat di masjid bandara, agar cukup luang waktu untuk melapor (check in) dan naik ke pesawat (boarding) yang akan kami tumpangi, yang akan terbang (take off) pada sekitar jam 15.35.
Kami masih sempat ke kedai minum yang ada di salah satu pojok halaman masjid. Kedai itu ramai. Ada yang minum kopi, teh, minuman botol dan macam-macam kue. Kami memesan pisang goreng dan mi instan. Orang-orang itu menunggu waktu salat Jumat. Ada rombongan orang-orang berseragam pekerja lapangan yang masuk ke kedai itu. Ada juga rombongan lain dengan warna seragam yang berbeda. Orang-orang itu tampaknya beristirahat untuk sebentar pergi salat Jumat yang tidak lama lagi dilakukan.
Dalam keadaan kedai itu sibuk melayani pembeli, terdengar suara azan dari menara masjid. Tampak orang-orang bergegas minum dan makan hidangan yang telah dipesan. Ada juga yang berdiri karena kursi sudah terpakai semua. Saya dan cucu segera menuju masjid. Azan tadi rupanya azan pertama.
Di masjid lebih beraneka ragam jemaah. Ada yang ke tempat wudu, ada juga yang langsung masuk ke masjid karena sudah berwudu. Tentu, ada juga yang akan berangkat seperti saya. Ada keluarga dan teman yang mengantar mereka yang mau berangkat dengan pesawat, menunggu di halaman parkir. Mereka yang berpakaian seragam, mungkin tidak akan berangkat; melainkan akan kembali ke lapangan/tempat bekerja bila selesai salat Jumat. Di beberapa mobil yang diparkir tampak perempuan/ibu bersama putra-putrinya yang berdiri atau berkeliling di sekitar mobilnya,… menunggu keluarga selesai salat Jumat. Ada juga, tidak masuk ke masjid, mengunyah makanan ringan di dalam mobilnya.
Orang-orang di masjid bandara itu, meskipun beragam, namun seragam harapan mereka: salat Jumat ditunaikan dengan baik, “cepat” atau tidak berlama-lama. Harapan itu seragam,… yang ikut salat dan yang menunggu di luar. Bisakah masjid bandara memenuhi harapan itu?
Ketika azan kedua dilantunkan,.. ketika khutbah disampaikan,… ketika imam memimpin salat,… seraya berusaha khusuk, jemaah yang salat dan keluarga yang menunggu, tetap mengingat waktu check in, waktu boarding dan waktu take off. Padahal waktu-waktu itu berbeda antara calon penumpang yang satu dengan yang lainnya, karena berbeda pesawat yang akan ditumpangi. Apakah masjid bandara bisa ikut merasakan kemungkinan ada jemaah yang gelisah?
Seorang sahabat bernama Muadz bin Jabal, ketika menjadi imam salat, sering membaca surat yang panjang, bahkan sampai membaca surat Al-Baqarah. Ada makmum merasa keberatan dan ada yang sampai memisahkan diri dari jemaah karena tidak kuat mengikuti bacaan panjang tersebut. Hal itu diadukan kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi menegur Muadz dan mengingatkannya untuk mempertimbangkan kondisi makmum yang ada di belakangnya. Dalam hal salat Jumat, khatib Jumat juga boleh diingatkan tentang teguran Nabi SAW tsb.
Berjumat di masjid bandara Sultan Hasanuddin kemarin itu, kesan saya, khatib dan imam serupa dengan Muadz yang ditegur Nabi SAW!