Kendati pencapaian ini patut diapresiasi, tantangan besar masih mengintai di lapisan paling bawah masyarakat. Literasi keuangan yang rendah menjadi batu sandungan utama, terutama di wilayah perdesaan.
Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 menunjukkan indeks literasi keuangan wilayah perdesaan Sulsel baru mencapai 59,60 persen, tertinggal jauh dibandingkan kota (70,89 persen). Ironisnya, akses atau inklusi keuangan sudah tinggi (88,57 persen pada 2022), namun masih banyak masyarakat yang tidak tahu cara memanfaatkannya.
GenBI Sulsel, komunitas mahasiswa penerima beasiswa BI, menjadi ujung tombak edukasi di lapangan. Ketua GenBI Sulsel, Josafat Togap H. Sinaga, menuturkan bahwa tantangan utama bukan hanya soal teknologi, tetapi juga budaya dan bahasa.
“Banyak ibu-ibu di Gowa atau Jeneponto lebih fasih berbahasa Makassar. Mereka sudah punya ponsel, tapi tidak percaya sistem pembayaran digital,” katanya.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Abdul Muttalib Hamid, menilai bahwa peran BI dalam membangun fondasi ekonomi digital sudah tepat, namun perlu ditopang oleh strategi yang lebih kontekstual. Masalahnya bukan semata-mata pada kurangnya sosialisasi, tetapi juga minimnya kepercayaan dan pemahaman struktural.
“BI perlu hadir lebih dalam masuk ke budaya lokal, bahasa lokal, dan struktur sosial masyarakat desa,” tegas Muttalib, Rabu, 18 Juni 2025.
Ia mengapresiasi program SIAP QRIS dan dukungan BI terhadap UMKM, namun mengingatkan agar jangan terlalu cepat puas dengan angka transaksi atau jumlah pengguna.