English English Indonesian Indonesian
oleh

Pidato Pengukuhan Guru Besar Unhas, Prof Akhmar: La Galigo Bukanlah Naskah Kuno yang Beku

Profesor baru Unhas dikukuhkan. Tiga dari FIB, satu dari Fisip. Mereka memiliki gagasan berbeda.

Sri Wahyuni-Ilham Wasi
Tamalanrea

Naskah epik kuno La Galigo telah hidup dalam ratusan versi lisan dan tertulis sejak abad ke-13, telah diakui UNESCO sebagai salah satu dari 238 koleksi Memory of the World (MoW).

La Galigo ini menjadi salah satu bahasan utama Prof. Dr. Andi Muhammad Akhmar, S.S., M.Hum., dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya. Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas ini menyajikan gagasan yang berbeda dalam memandang naskah La Galigo.

Pria kelahiran Bone, 16 Maret 1969 ini fokus pada Ilmu Kajian Sastra dan Budaya dengan mengangkat judul pidato “Indigeneitas, Estetika Global, dan Fiksi Pascamodern: Membaca La Galigo dalam Kerangka Kajian Sastra dan Budaya”.

Prof Akhmar dikukuhkan bersama tiga profesor baru lainnya: Prof. Dr. Mardi Adi Armin, M.Hum. di bidang Ilmu Filsafat Bahasa dan Prof. Dr. Munira Hasjim, S.S., M.Hum. di bidang Ilmu Sosiolinguistik Transformasional dari FIB dan Prof. Dr. Ansar Arifin, M.S. dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), di bidang Ilmu Antropologi Maritim.

Prof Akhmar mengawali pidato dengan menekankan pentingnya tanggung jawab moral dan intelektual untuk terus menggali, merawat, dan menghidupkan warisan budaya bangsa dengan cara-cara yang reflektif, kritis, dan relevan dengan zaman.

Kajian Sastra dan Budaya ini merupakan disiplin ilmu yang mempelajari hubungan kompleks antara karya sastra dan fenomena budaya dalam masyarakat.

Dalam dinamika sosial yang selalu berubah, kata dia, Kajian Sastra dan Budaya hadir sebagai titik temu antara ilmu sastra (berakar pada bahasa dan estetika) serta ilmu budaya (yang mengurai relasi kuasa, identitas, dan makna dalam masyarakat).

Membaca karya sastra, menurut Prof Akhmar, berarti menafsirkannya sebagai sistem tanda yang membentuk makna melalui hubungan formal dan fungsi-fungsi naratif di dalamnya, serta sebagai medan representasi sosial yang kompleks.

Menurut Direktur Hubungan Alumni Unhas ini, La Galigo bukan hanya narasi asal-usul sistem nilai masyarakat Bugis, tetapi juga peta kosmologis yang menjadi penopang kebudayaan mereka. Epos ini hadir dalam berbagai bentuk; dalam teks tertulis, perilaku hidup sehari-hari, ritual keagamaan, praktik ekologis serta manifestasi dalam teater dan seni sastra kontemporer.

Pengalaman pribadinya dalam menemukan dan meneliti La Galigo sejak masa mahasiswa. Sekitar 1991-1992, Unhas bekerja sama dengan The Ford Foundation dalam proyek digitalisasi naskah-naskah kuno dari Sulsel.

Dia mulai membaca manuskrip La Galigo, baik dalam bentuk transkripsi maupun terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Ketertarikannya untuk meneliti La Galigo semakin tumbuh ketika ia menemukan sejumlah bagian naskah yang memuat formula-formula dalam bahasa Arab, termasuk kutipan ayat-ayat Al-Qur’an.

“Temuan ini menunjukkan dua hal penting: pertama, bahwa La Galigo merupakan naskah yang terus direaksikan dan ditambahkan seiring waktu; dan kedua, bahwa telah terjadi perjumpaan kultural antara kebudayaan Bugis dan ajaran Islam dalam ranah sastra,” jelasnya.

Sejauh ini, terdapat setidaknya tiga disertasi akademik yang secara khusus mengangkat naskah La Galigo, yakni: Ritumpanna Wélenremngé: Sebuah Episoda Sastra Bugis Klasik Galigo (1983), Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina: Galigo (1998), serta Islamisasi Bugis: Kajian Sastra atas La Galigo Versi Bottinna I La Déwata I Wé Attaweq (BDA) (2011).

Ketiga karya ini menggunakan pendekatan filologis dan sekaligus memuat kajian sastra, dengan fokus utama pada La Galigo sebagai teks, menelaah aspek kebahasaan, sistem perpuisian, struktur naratif, serta kandungan isi ceritanya. “Kajian-kajian ini tentu penting dalam memahami bentuk dan isi La Galigo sebagai warisan sastra,” paparnya.

Namun, dalam perkembangan kajian budaya kontemporer, menurutnya, menjadi sangat relevan untuk menempatkan La Galigo tidak hanya sebagai teks, tetapi juga sebagai bagian dari praktik budaya yang hidup.

Sebagai naskah yang lahir dari praktik lisan dan spiritual, La Galigo juga berfungsi sebagai arsip hidup (living archive) yang terus dimaknai ulang oleh masyarakat adat dalam merespons tantangan zaman, seperti krisis ekologis dan pergeseran identitas budaya.

Di sisi lain, La Galigo juga mengalami proses dekonstruksi dalam karya sastra modern, seperti dalam cerpen Sawerigading Datang dari Laut karya Faisal Oddang, yang merefleksikan krisis makna dan keterasingan tokoh mitologis di dunia pascamodern.

“Oleh karena itu, La Galigo bukanlah sekadar naskah kuno yang beku dan terpaku pada masa lampau, melainkan merupakan medan tafsir dan ruang perjuangan budaya yang dinamis,” ungkapnya.

Dia pun mengajak untuk menelusuri tiga tapak jejak yang tampaknya berbeda, namun sesungguhnya saling berkaitan: pertama, pembacaan La Galigo dari perspektif indigeneitas, sebagaimana dihidupkan oleh masyarakat adat To-Cerekang (atau To-Cerekeng) di Kab. Luwu Timur dalam upaya mereka melindungi hutan adat.

Kedua, pembacaan La Galigo melalui panggung visual lintas budaya, yang diwujudkan dalam estetika teatrikal global oleh sutradara Robert Wilson; dan ketiga, pembacaan pascamodern melalui cerpen Sawerigading Datang dari Laut karya Faisal Oddang, yang menyajikan dekonstruksi mitos Sawerigading dalam bentuk narasi yang fragmentaris dan kontemplatif.

Ketiga bentuk pembacaan La Galigo tersebut menunjukkan bagaimana bidang ilmu Kajian Sastra dan Budaya memberi ruang bagi reinterpretasi teks klasik melalui berbagai perspektif dan pendekatan yang relevan dengan konteks kekinian.

“Berdasarkan tiga perspektif dalam pembacaan La Galigo, yaitu model tafsir indigeneitas, representasi estetika global, dan dekonstruksi pascamodern, terbuka medan pertemuan yang kompleks antara teks tradisional, praktik budaya, dan eksperimen estetika kontemporer,” paparnya.

Ketiga model ini menurutnya, mengilustrasikan tesis Eagleton bahwa kebudayaan adalah medan kontestasi makna. Masyarakat To-Cerekang menggunakan La Galigo sebagai instrumen cultural resistance untuk melawan kapitalisme ekstraktif.

Teater-tari I La Galigo menegasikan keotentikan dalam estetika global, dan cerpen Sawerigading Datang dari Laut memperlihatkan bahwa bahkan identitas mitologis pun tidak kebal terhadap fragmentasi zaman. Di tengah perbedaan itu, ketiganya memelihara La Galigo dalam ruang hidup yang berbeda-beda yaitu hutan adat, panggung global, dan dunia fiksi pascamodern.

Sementara itu, Rektor Unhas, Prof Jamaluddin Jompa, menekankan pentingnya La Galigo sebagai sumber inspirasi yang perlu terus diangkat dan dikaji, agar tidak tenggelam dalam arus informasi modern. Dia juga berharap pengukuhan ini menjadi momentum untuk komunikasi terbuka dan memastikan bahwa Unhas tetap berada di garis depan baik dalam pengembangan sains, termasuk ilmu budaya. (*/ham)

News Feed