FAJAR, MAKASSAR-Masyarakat adat To Cerekang di Desa Manurung, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur (Lutim), terus menunjukkan komitmen kuat mereka dalam menjaga kelestarian Hutan Adat Cerekang yang membentang seluas sekitar 673,67 hektare. Hutan ini memiliki nilai sakral dan menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat setempat.
Ketua Lembaga Adat To Cerekang di Luwu Timur, Usman Siabeng menegaskan pentingnya peran lembaga adat dalam menjaga hutan. Masyarakat To Cerekang sangat menjaga kelestarian hutan karena menganggap alam memiliki nilai sakral dan menjadi sumber kehidupan.
Baru-baru ini, juga masyarakat To Cerekang menyatakan penolakan tegas terhadap masuknya PT Prima Utama Lestari (PUL) ke dalam wilayah hutan adat mereka. Penolakan ini menunjukkan keseriusan masyarakat dalam mempertahankan hak-hak ulayat dan kelestarian lingkungan.
Selain mempertahankan hutan dari ancaman perusahaan, masyarakat To Cerekang juga mendesak percepatan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA). Pengakuan ini diharapkan dapat memberikan dasar hukum yang lebih kuat bagi masyarakat dalam mengelola dan melindungi wilayah adat mereka.
Peran pemuda adat juga sangat vital dalam upaya pelestarian ini. Organisasi “Pejuang Muda Wija To Cerekang” (PM-WTC), organisasi pemuda adat yang berfokus pada pelestarian Hutan Adat Cerekang, secara rutin memantau kondisi hutan. “Setiap hari mereka memantau hutan,” ujar Usman saat ditemui di sela-sela syukuran Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Unhas, Prof. Dr. Andi Muhammad Akhmar, S.S., M.Hum., di Aula Mattulada Unhas, Selasa, 17 Juni 2025.

Dalam pidato pengukuhan Guru Besar Prof Akhmar, di Ruang Senat Akademik Unhas, Selasa, 17 Juni 2025 dengan judul pidato “Indigeneitas, Estetika Global, dan Fiksi Pascamodern: Membaca La Galigo dalam Kerangka Kajian Sastra dan Budaya”, To Cerekang menjadi isi bahasanya.
Menurut Prof Akhmar, dalam konteks masyarakat adat To-Cerekang, narasi La Galigo adalah bentuk cultural resistance, perlawanan yang dilakukan bukan dengan senjata, tetapi dengan mitos, ritus, dan bahasa simbolik.
“Mereka menolak logika kapitalistik yang hanya melihat hutan sebagai komoditas, dan menggantinya dengan logika spiritual-ekologis yang melihat hutan sebagai rumah leluhur dan makhluk halus,” ungkapnya.
Dengan kata lain, kata dia, mereka memperjuangkan kelestarian lingkungan, sekaligus memajukan cara hidup dengan memberi makna pada eksistensi mereka sebagai manusia yang terhubung dengan dunia lebih dari sekadar rasionalitas ekonomi.
Praktik konservasi hutan berbasis komunitas. Lebih dari itu adalah praktik kebudayaan yang sangat kompleks, di mana mitos menjadi media untuk bernegosiasi, tradisi menjadi ruang artikulasi kepentingan, dan hutan menjadi ruang dialektika antara masa lalu dan masa depan. Ini adalah kebudayaan dalam pengertian penuh Eagletonian, terbuka, kontradiktif, dan politis.
“Inilah realitas yang harus kita terima, bahwa kebudayaan, sebagaimana dikatakan Eagleton adalah medan kontestasi di mana makna selalu diperebutkan. Hal yang membuat masyarakat adat To-Cerekang istimewa adalah kemampuan mereka untuk terus menegosiasikan makna La Galigo agar tetap relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer,” paparnya.
Lebih lanjut Prof Akhmar menyebutkan, dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat adat To-Cerekang telah berjuang memformalkan perlindungan terhadap hutan mereka melalui pengakuan hutan adat secara legal.
Namun, yang lebih penting dari legalitas adalah narasi yang mereka bangun. Mereka menyusun ulang kosmologi mereka ke dalam narasi politik. Mereka menyatakan bahwa La Galigo merupakan dasar ontologis bagi keberadaan mereka. “Dengan demikian, mereka tidak hanya mengklaim hak atas tanah, tetapi juga hak untuk menafsirkan dunia,” ungkapnya.
Di sepanjang bentangan Sungai Cerekang, hutan masih hijau dan sungai masih terjaga, La Galigo menjadi sumber legitimasi kosmologis sekaligus kultural dalam menjaga situs-situs suci mereka. “Hutan adat Pengsimoni, Padang Ennungnge, Beroe, Mangkutta, Tomba, Ujung Tanae, Kasosoe, Lengkong, Aggatungeng Anceqe, dan Turungeng Appancang-engenge, diyakini sebagai tempat tinggal roh-roh leluhur dan makhluk gaib,” tuturnya.
Dekan FIB Unhas ini menyebut, patut belajar dari cara masyarakat adat To-Cerekang memahami budaya sebagai perangkat yang hidup dan berubah. Mereka menolak dikotomi antara tradisi dan modernitas.
Bagi mereka, tidak ada pertentangan antara upacara adat dan strategi advokasi. “Inilah bentuk baru dari indigeneitas, yaitu sebuah proyek yang tidak anti-modern, tetapi menggunakan modernitas untuk mempertahankan nilai-nilai lokal,” pungkasnya.
La Galigo dalam tafsir indigeneitas menurutnya, bukanlah teks yang selesai. Ia adalah narasi terbuka yang terus ditulis ulang oleh masyarakat adat dalam berbagai konteks, yaitu dari ritual ke pertunjukan global, dari hutan ke ruang-ruang konferensi, dari cerita rakyat ke memory of the world. “La Galigo menjadi site of struggle; ruang di mana berbagai kepentingan dan nilai saling bertemu, berbenturan, dan dinegosiasikan,” jelasnya.
Sehingga, menurutnya, membaca La Galigo dalam kerangka indigeneitas dan kebudayaan ala Eagleton membawa pada pemahaman yang lebih holistik. Budaya merupakan medan perjuangan yang sangat nyata.
“Ketika mitos digunakan untuk melawan kapitalisme ekstraktif, ketika ritus menjadi senjata untuk mempertahankan ruang hidup, ketika cerita nenek moyang menjadi dasar klaim atas tanah dan sungai, maka kita sedang menyaksikan kebudayaan yang tidak hanya hidup, tetapi juga melawan,” urainya. (*/ham)