“Kami ingin ALFI/ILFA menjadi jembatan yang solutif antara regulator dan pelaku usaha, dengan pendekatan yang berbasis data, dialog, dan hasil nyata,” tutup Arief.
Arief juga memberikan pandangan soal kondisi impor Indonesia saat ini, dia menyampaikan keprihatinan dan catatannya terkait dinamika kebijakan terbaru yang sedang berjalan.
“Saat ini, kita melihat pemberlakuan regulasi seperti PMK 4/2025 dan PER-5/BC/2025 yang bertujuan menyederhanakan arus barang impor, terutama untuk barang kiriman kecil dan barang bawaan penumpang. Ini langkah positif,” ujar Arief.
Namun, ia juga menggarisbawahi tantangan yang masih harus diatasi.
“Masih ada kendala nyata di lapangan, seperti kepadatan pelabuhan, birokrasi clearance yang belum optimal, serta perlunya transparansi dalam implementasi aturan teknis. Ini menjadi catatan penting bagi kami di bidang fiskal dan kepabeanan,” lanjutnya.
Terkait langkah korektif, Arief menyampaikan bahwa ALFI/ILFA akan mendorong percepatan digitalisasi proses impor dan penguatan sistem logistik berbasis data.
“Kami akan mendorong percepatan penerapan CEISA 4.0 serta mendukung pengembangan dry port sebagai pelabuhan alternatif, agar beban di pelabuhan utama seperti Tanjung Priok dapat dikurangi,” jelasnya.
Arief juga menyatakan pentingnya menjaga keseimbangan antara perlindungan industri dalam negeri dan kelancaran arus barang impor, terutama bagi pelaku UMKM.
“Tarif progresif dan sistem self-assessment untuk barang kiriman hingga USD 1.500 perlu terus dievaluasi dampaknya. Kita ingin kebijakan yang adil, efisien, dan mendukung pertumbuhan sektor riil,” pungkasnya.