SuarA : Nurul Ilmi Idrus
Dalam Islam, tiga hal yang harus disegerakan, salah satunya adalah pernikahan. Tidak mengherankan jika anak perempuan telah memiliki pacar, pertanyaan selanjutnya adalah kapan pacarnya melamar? Atau bahkan dijodohkan, sehingga muncul pernikahan dini, pernikahan anak, dan semacamnya. Dulu, pernikahan adalah sesuatu yang diimpikan banyak orang. Telat menikah dikepoin, tidak menikah stigma menghampiri. Kini, ada kecenderungan orang menunda pernikahan, istilah kerennya waithood.
Ada beberapa hal yang membuat orang kemudian menunda pernikahan, yakni ingin berfokus pada karier, belum siap secara finansial, masih ingin berfokus pada keluarga sendiri (terutama bagi generasi sandwich), selektif dalam memilih pasangan, dan keinginan untuk hidup secara independen (Wulandari 2023). Namun, belakangan ini “marriage is scary” menjadi populer. Meskipun waithood dan marriage is scary berbeda satu sama lain, keduanya saling berkaitan. Jika yang pertama berkaitan dengan penundaan pernikahan, maka yang kedua berasosiasi dengan ketakutan untuk memasuki ikatan pernikahan, dan itu dapat menyebabkan terjadinya penundaan pernikahan atau bahkan menjadi jomblo abadi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada dekade terakhir, terjadi penurunan angka pernikahan di Indonesia sebesar 28,63%.
“Marriage is scary” adalah frasa yang sedang tren di media sosial, seperti TikTok, Instagram, X, dengan memuat foto/video dan narasi yang membuat orang takut untuk memasuki kehidupan pernikahan. Tren in banyak diikuti, terutama oleh generasi Z yang merupakan kelompok usia yang melek teknologi dan banyak menggunakan media sosial, sehingga mereka yang paling banyak “terinfeksi” dengan tren-tren yang bermunculan di media-media sosial.
Tren “marriage is scary” distimulasi oleh influencer, selebgram, atau warganet lainnyayang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, dan semacamnya, yang dikomentari (comment), disukai (like), dan diposting ulang (repost), sehingga dengan cepat menyebar atau bahkan viral. Tren ini tidak hanya diikuti oleh perempuan, tapi juga laki-laki. Ini menimbulkan perdebatan di antara keduanya dengan masing-masing argumentasi yang mendasarinya yang berkaitan dengan bagaimana peran dan perlakuan masing-masing pasangan dalam sebuah ikatan pernikahan. Tren “marriage is scary” ini memengaruhi cara pandang orang tentang hubungan pernikahan dan keinginan untuk memasuki ikatan tersebut.
Kenapa “marriage is scary”? Menurut psikolog Gozali Rusyid Affandi (2024), ketakutan untuk memasuki kehidupan pernikahan adalah sesuatu yang wajar karena adanya rasa kekhawatiran atas kehidupan yang akan dijalani pasca pernikahan. Yang membuat “marriage is scary” itu jika kekhawatiran itu berlanjut dan menjadi masalah. Ketakutan tersebut dipengaruhi oleh diri sendiri, lingkungan, dan media sosial dan ketiganya tidak dapat dipilah secara tegas.
Tren “marriage is scary” membuat orang takut berkomitmen dalam suatu ikatan pernikahan. Ini cukup beralasan mengingat bahwa pernikahan, sebagai sebuah institusi atau komitmen seumur hidup, adalah sesuatu yang penuh dengan tantangan dan ketidakpastian. Ini karena dalam kehidupan pernikahan ada tanggung jawab yang besar, ada perubahan dalam kehidupan pribadi, dan ada potensi masalah yang mungkin timbul dalam hubungan jangka panjang.
Namun, marriage isn’t scary, ketika ada cinta timbal balik (mutual love) dan ada komitmen untuk mewujudkannya (commitment to make it works). So, don’t be scary!