English English Indonesian Indonesian
oleh

Rekonstruksi Rasionalitas Koalisi Partai Politik dalam Pencalonan

Oleh: Dian Fitri Sabrina
Dosen Hukum Tata Negara
Universitas Sulawesi Barat

Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak konstitusional untuk ikut serta dalam pemilihan umum, termasuk sebagai calon kepala daerah, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Pilkada merupakan pemilihan pasangan calon gubernur, bupati, atau wali kota beserta wakilnya yang diselenggarakan secara serentak sejak tahun 2015. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan, mencabut Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada, dan menyatakan Pasal 40 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 bersyarat, yang memperbolehkan partai politik yang tidak memiliki kursi DPRD untuk mengajukan calon dengan syarat memperoleh suara terbanyak sebesar 6,5%–10% dari jumlah suara sah (Mahkamah Konstitusi, 2024).

Namun, putusan ini tidak membatasi koalisi besar, seperti Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus pada Pilkada 2024 yang hanya melahirkan satu calon dan melemahkan oposisi. Menurut Gumede (2023), oposisi yang kuat sangat penting bagi akuntabilitas pemerintah dan kualitas demokrasi. Partai politik, termasuk yang baru seperti Partai Buruh, terpaksa membentuk koalisi untuk memenuhi ambang batas, sehingga mengorbankan independensi (Sari, 2025). Fenomena ini mencerminkan politik yang berlandaskan pada kepentingan elit, bukan kedaulatan rakyat (Asshiddiqie, 2014).

Persyaratan pencalonan penting agar partai politik dapat bertanggung jawab dan mewujudkan demokrasi terhadap alternatif pilihan yang ditawarkan kepada masyarakat, serta komposisi antara oposisi dan koalisi partai politik dapat seimbang dalam pemerintahan.

News Feed