FAJAR, MADINAH – Di Tanah Suci, di tengah lautan manusia yang bertalbiyah, jutaan jiwa berkumpul hanya untuk satu tujuan: menyempurnakan panggilan ilahi. Tapi di antara mereka, tak sedikit yang kembali ke pangkuan Tuhan, bukan ke pelukan keluarga.
Indonesia, tahun ini kembali mencatat angka kematian jamaah haji tertinggi di dunia. Sebuah fakta yang tak bisa disikapi dengan datar. Karena di balik data itu, ada air mata, ada kehilangan, dan ada tanya yang menggantung di langit Makkah: sudahkah kita menjaga mereka sebaik mungkin?
Wafat di Tanah Suci: Antara Takdir dan Tanggung Jawab
Wafat di tanah suci adalah kemuliaan, sebuah akhir yang dicita-citakan banyak orang. Namun ketika jumlahnya begitu besar, dan sebagian besar di antaranya adalah lanjut usia dengan komorbid, maka ini bukan hanya tentang takdir—tetapi juga tentang tanggung jawab.
Perjalanan haji bukan sekadar ibadah spiritual. Ia juga adalah perjalanan fisik yang menguras energi dan menantang daya tahan tubuh. Ketika jamaah lansia berangkat tanpa persiapan kesehatan yang matang, risiko yang dihadapi bukan hanya kelelahan, tapi bisa berujung pada kematian.
Kesehatan Adalah Kunci Ibadah yang Paripurna
Rasulullah ﷺ bersabda, “Mukmin yang kuat lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim). Hadis ini tidak hanya berbicara tentang kekuatan iman, tapi juga kekuatan jasmani. Karena keduanya saling menguatkan dalam menjalankan ibadah.
Maka menjaga kesehatan sebelum dan selama berhaji bukan semata-mata urusan medis. Ia adalah bagian dari ibadah. Ibadah yang sehat adalah ibadah yang utuh. Ibadah yang mabrur adalah ibadah yang dijalankan dengan kesiapan, bukan hanya niat.